Minggu, 07 Oktober 2012

Elang Betina

Seorang laki-laki berperawakan tanggung menghampiri Ari. Hari itu senin tanggal 12 April. Ari yang duduk yang duduk dikelas XI mendengarkan seru cerita-ceritanya. Selang beberapa waktu Ari bersama ketiga temannya memasuki gerbang sekolah. Riuh suasana didalam sekolah, beberapa pertandingan porseni diadakan disekolah tersebut. Dengan sanatainya Ari menyapa ibu dorita si guru BP “paagii bu,,”. Sapa ari seraya mengejek guru berkacamata tersebut.
“hai Ari, bagas, Dewa, Zikri, kemari kalian” tiba-tiba saja ibu dorita sentak memanggilnya. Dengan tampang tegang keempat anak itu menghampirinya.
“kau tau kau itu dimana!?” tanya ibu Dorita. Dengan santainya Ari menjawab “ yah disekolah bu, anak bayi juga faham”. Ibu dorita yang sudah terbiasa dengan sikap anak-anak seperti itu mulai mengabaikan tingkahnya. Tidak seperti dahulu ketika baru pertama mengajar disekolah tersebut, ibu Dorita selalu ‘naik darah’ jika bertemu dengan Ari dan teman-temannya.
    Kelas yang begitu riuh, lemparan kertas anak-anak menambah ramai suasana yang tak berbeda jauh dengan pasar, dipojok kelas mereka asik dengan majalah remaja dan gosip-gosip terbarunya. Celetukan asal-asalan, hingga beberapa siswa yang sedang bercerita dengan teman duduknya atau mungkin teman yang mereka sebut dengan sebutan ‘pacar’. Dipojok depan seorang siswi berkacamata dengan jilbabnya juga focus pada buku yang sedang ia pelajari. Yah, dialah Zikra yang biasa dipanggil cika, saudari kembar Zikri. Zikra terkenal dengan sebutan si elang betina karena ketangguhannya menyelamatkan saudara kembarnya di arena tawuran beberapa hari lalu.
    Bel berbunyi jam belajar pun dimulai  riuh yang sedari tadi terdengar berubah menjadi kerusuhan ketika pak Gunawan datang. Siswa-siswi berlomba sampai ketempat duduknya masing-masing, menyenggol kursi dan meja itu pu biasa, tersikut teman sudah menjadi hal lumrah di saat-saat itu. Pak Gunawan pun memulai pelajaran PKNnya. Salah satu pelajaran yang tidak disukai oleh warga kelas tersebut. Mereka beranggapan bahwa PKN adalah pelajaran ter’ngibul’ yang pernah diajarkan, tapi hal berbeda dirasakan oleh Zikra. Ia sangat menyenangi pelajaran tersebut. Sekali lagi ia beranggapan bahwa tak ada yang salah dari semua pelajaran yang ada hanyalah bagaimana cara kita mempelajari dan memandang pelajaran itu sendiri.
    Sore itu Zikra mendapatkan telefon dari seseorang yang tak ia kenali suaranya, suara yang terengah-engah diseberang sana mengabarkan bahwa Zikri terkena sabetan celurit di perutnya, kondisi zikri yang kritis sedang ditangani oleh UGD RS berdikari. Seketika tangannya gemetar memegang gagang telefon itu, hatinya kacau tak karuan, ia tak bisa membayangkan bagaimana kondisi zikri sekarang, ada air bening yang tertahan disudut matanya, ia tak tau harus berkata apa kepada ibu yang terbaring didipan tua itu, suara batuk ibu menambah pedih hatinya seakan tertusuk ujung pisau. Gagang telefon pun segera ia tutup dengan salam keheningan.
“ka, siapa tadi yang menelfon?” tanya ibu dengan suaranya yang parau
“kok zikri belum pulang kak?coba kamu telefon adekmu, ibu khawatir kiki ikut tawuran lagi”. Tanya ibu dengan nada yang semakin khawatir. Zikra tak sanggup berkata-kata kepada ibu, suaranya terhentak ditenggorokan ada dorongan kuat yang tak mengizinkannya untuk bicara tentang Zikri.
“sebentar lagi zikri pulang kok bu,,” jawab zikra sambil menghela nafasnya. Zikrapun bergegas ke Rumah Sakit berdikari tempat Zikri ditangani oleh tenaga medis.
“kamu mau kemana nduk?” tanya ibu pada anak gadisnya itu sambil mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Zikra pun merebahkan ibu kembali ke tempat tidur tua itu
“sebentar ya bu cika mau kesekolahan ada sesuatu yang tertinggal”. Gadis itu langsung menyambar tas ranselnya dan beranjak pergi dari rumah dengan sepedah yang ia beli hasil jualan kuenya selama bertahun-tahun.
    Roda-roda sepeda itu serasa berat ia gowes sambil sesekali menghapus air bening yang mengalir tak tertahan di pipinya, jilbabnya berkibaran tertiup angin, jalanan sore itu ramai namun serasa sepi baginya. Tikungan demi tikungan ia lewati semakin kencang ia gowes semakin berat ia tapaki jalan hidup ini. Ibu yang terbaring sakit, SPP sekolah yang penuh tunggakan hingga zikri saudara kembarnya yang ia panggil dengan sebutan kiki itu tak berdaya di UGD R.S Berdikari. “tuhan, tak mungkin kau beri ujian ini jika aku tak dapat mengatasinya”. Bisik dalam hela nafasnya.
    Gedung rumah sakitpun semakin terlihat ambulance yang berjejer membuat bulu kuduk berdiri. Zikra segera memarkirkan sepedanya di sela-sela parkiran motor. Dan ia bergegas menuju ruang UGD Rumah Sakit. Ia mendapati Ari dan Dewa tertunduk entah menyesal karena menang atau kalah dalam ajang tawuran ia pun tak faham itu.
“gimana kiki ri?” tanya Cika khawatir. Ari hanya menunjuk ke arah jendela yang berada dipintu tersebut. Kiki sang Jendral tawuran itu terbaring lemah dengan selang infus ia memasuki masa kritis dengan balutan perban disekitar kepala dan jahitan di perut bagian kanan. Cika menatap ke arah Ari dan Dewa ingin rasanya ia pukul mereka sekencang-kencangnya.  Menjambak rambut mereka ataupun menarik seragam SMAnya biar tak lagi merusak reputasi sekolah karena pertarungan sia-sia itu.
    Masa itu teringat kembali dalam memorinya saat pulang sekolah dengan sepedanya Zikra atau yang akran disapa Cika itu menerobos kerumunan pelajar yang sedang bertarung. Satu-satunya gadis yang terjebak diarena pertempuran yanng ingin menyelamatkan adik kembarnya. Zikri. Sebuah balok yang hampir saja melukainya berkali-kali ia tangkis, Cika memang bukan seorang jagoan ataupun pelatih tapak suci namun ia hanya punya janji untuk selalu menjaga zikri saudara kembarnya. Dan janji tersebut yang dapat mengalahkan segalanya. Setelah tangan Zikri dapat tergenggam, Cika sekuat tenaga membawanya lari.  Sekencang-kencangnya seperti seekor elang yang membawa tangkapannya.
    Bau obat bius menyeruak hingga ke paru-paru, menyesak diujung pernafasan, ada doa yang dibisikan dalam hati seorang Zikra, ada harap dalam kondisi keterbatasan, ada kekuatan dalam kondisi ketidak berdayaan. Tiba-tiba dokter pun keluar dari ruangan berdinding serba putih tersebut.
“Zikri telah melewati masa kritisnya”. Suara dokter seperti oase dipadang yang kering. Senyum Zikra pun kembali mengembang. Spontan ia melaksanakan sujud syukur itu.
Dua hari berlalu setelah masa kritis, Zikri belum juga siuman. Sementara Zikra tak henti-hentinya pulang pergi rumah sakit dan sekolah. Pagi sekolah tak lupa ia dagangkan kue-kue jualannya kemudian pulang kerumah merawat ibu dan kembali ke rumah sakit menengok zikri adik kembarnya.
Zikri menggerak-gerakan jari jemarinya, Zikrapun sontak berdiri mencoba memberi dukungan pada saudaranya. Hingga Zikri membuka matanya dan memeluk erat tubuh kakaknya tersebut.
“Kiki belum mau mati kak, Kiki masih ingin hidup”. Jerit Kiki dalam pelukan Zikra. Zikra tak mengerti episaode apa yang dialami Kiki selama masa kritisnya. Kiki terus meminta maaf dan menjerit seraya tak mau melepaskan pelukannya. Hingga kata demi kata pun mengucur dari mulut Zikri.
***
Gambaran mimpi yang menakutkan, lemparan batu, pukulan, benturan, kucuran darah, teriakan hingar bingar. Cuaca cerah yang sore itu menjadi saksi keributan ala siswa metropolitan. Potret masa depan yang menyedihkan. Pendidikan yang buram dan kerapuhan mental
“ Apa kamu menginginkan kematian????!!!!!!!” tanya seseorang berbadan besar dalam masa kritisnya. Zikri hanya terdiam ketakutan, suaranya seakan terhambat ditenggorokan
“Apa kamu menginginkan kematian??????!!!” tanyanya kembali dengan nada yang semakin keras. matanya membelalak, tangannya kekar menggenggam alat seperti sangkur, wajahnya ‘horor’ buat semua bulu kuduk berdiri jika menatapnya.
“ampuuuunnn, guwe belum mau matiiiii???!!” jerit Zikri saat itu. Ia tersungkur, terjatuh dan ketakutan
“guwe masih mau hiduuuupppp!!!” Berkali-kali ia katakan hal yang serupa
“berhentilah mencari kematian, atau kematian yang akan menghampirimu!!” pesan orang berbadan besar tersebut. Orang tersebut meninggalkan Zikri dalam ketidakberdayaan dan ketakutannya
Badannya gemetaran, keringat dingin tiba-tiba mengucur dari sela pori-porinya, pelukannya semakin erat. Ari, Dewa dan  Bagas pun saling bertatapan, empat sekawan tersebut saling berpelukan erat. Ada janji yang mereka gumamkan untuk berhenti tawuran ada doa yang mereka bisikan. Dan seketika itu bayangan ibu dirumah pun menghiasi fikiran kedua kakak beradik itu. Karena hingga hari ini ibu hanya tau Zikri sedang ada agenda sekolah yang memaksanya menginap. Zikra memang tak sanggup memberi kabar pada ibu perihal kondisi Zikri. Bukan bermaksud untuk berbohong, ia hanya tak ingin memperparah kondisi ibu. Zikra berjanji akan menjelaskan semuanya kepada ibu nanti.
“Inilah rahasiamu tuhan, setelah sekian lama aku panjatkan doaku, kau tak lantas mengabulkan begitu saja tetapi kau balas dengan amat indah. Sebagai sebuah pelajaran berharga untuk saudaraku begitupun untuk diriku. Dan doaku terjawab sudah” ada kristal yang mencair disudut mata Zikra. Mengalir bak sungai di pipi gadis itu menetes membasahi ujung-ujung jilbabnya. 

  


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar