Semua siswa nampaknya antusias
dengan pelajaran tentang pekerjaan. Satu-satu, Miss Sofi mempersilahkan mereka
maju kedepan untuk mengungkapkan cita-citanya kelak dalam bekerja.
“Melani,
Silahkan maju kedepan, coba ungkapkan keingananmu kelak akan bekerja pada
bidang apa?” tutur Miss Sofi. Gadis berambut ikal dengan mata bundar yang
menawan itu melangkah pasti kedepan kelas. Senyumnya yang berpadu dengan
keindahan lesung pipinya bagai guratan matahari pagi yang cerah dan menaburkan
kesegaran. Melani siap dengan ungkapannya. Seluruh anakpun siap menjadi
pendengarnya. Begitupun dengan Giya yang terlihat bertumpang dagu menunggu
penuturan Melani.
“Aku
Ingin sekali menjadi seorang artis seperti Asmiranda. Dia cantik, baik dan
terkenal.” Sempurna, gadis ini menuturkan pendapatnya dengan jelas dan ekspresi
yang sangat menawan cocok sekali menjadi seorang artis papan atas seperti yang
diimpikannya sejak dini. Beberapa anak terdengar berceletuk. Ia lah dia bisa jadi artis, kan dia cantik dan anak orang kaya.
“Baik,
siapa lagi yang mau mengungkapkan keinginannya kelak bekerja dimana. Ok Hands Up!” seru Miss Sofi kepada para
siswa-siswinya.
“Me teacher...” Giya mengangkat tangan
kanannya untuk maju ke depan.
Sekarang,
giliran dirinya maju menunjukan kemampuannya dalam mengungkapkan impiannya
dalam bekerja.
“Silahkan
Giya, ungkapkan keinginanmu.” Gadis itu melangkahkan kakinya dengan mantap. Seperti seorang menteri yang
kelak akan ditepuki dan disalami oleh orang banyak. Ia merasakan tepukan tangan
penghormatan dan teriakan orang-orang yang mengelu-elukan namanya. Giya siap
dengan pidatonya sebagai seorang menteri di podium yang kini masih menjadi
ruang kelas dengan disply-disply
menakjubkan.
“Ketika
aku besar nanti aku akan menjadi menteri pengangkut sampah....”
“Wahahahahah....”
Kompak seluruh siswa di kelas itu tertawa terbahak-bahak dengan ucapan Giya
begitupun dengan Miss Sofi yang tak kalah gelinya dengan teman-teman yang lain.
Namun, Miss Sofi masih mencoba netral dengan mengajak siswa-siswanya kembali
tenang.
Wajah
Giya kebingungan dengan tawa rekan-rekannya. Dahinya mengernyit matanya
memandang teman-temannya dengan mimik tak faham.
“Kok
pada ketawa? emang ada yang salah yah?” tanya Giya tak faham.
“Kamu
masih mau melanjutkan Giya?” tanya Miss Sofi kepadanya. Ia pun mengangguk untuk
meneruskan penuturannya.
“Baik,
silahkan diteruskan,”
Giya
melanjutkan pidatonya sebagai seorang menteri pengangkut sampah. Bidang
pekerjaan yang belum pernah ada di dunia ini. Baginya menteri kesehatan saja
tidak cukup untuk mengurus segala sampah yang ada di negara ini. Negara ini
butuh satu bidang khusus yang mengurusi sampah-sampah tak berfungsi menjadi
barang jadi.
Seisi
kelas riuh bertepuk tangan mendengarkan tuturan Giya. Begitu pun Miss Sofi
yang takjub dengan penuturan siswinya
yang luar biasa pagi itu.
“Terima
kasih teman-teman semua. Ibu menteri akan kembali ke mejanya.” Giya kembali ke
meja kursinya yang berada dibarisan ke tiga lini tengah bersama senyum yang
mengembang. Beberapa anak memandang kagum dengan Giya namun Melanie masih
menganggapnya sebagai hal yang biasa bahkan aneh.
Pagi
yang beranjak siang. Tepat pukul 13.00 wib Giya dan teman-temannya kembali
pulang ke rumah masing-masing. Giya pulang bersama Ronald dan Hendy yang kebetulan searah dengannya. Yah, sama-sama melewati rumah nenek
pinky. Nenek yang hobinya memakai baju berwarna pink. Nenek Pinky memiliki
sejumlah anjing yang besar-besar. Hal inilah yang terkadang membuat Giya harus
berputar arah perjalanan pulang ketika Ronald dan Hendy tidak masuk agar tidak
melewati rumah nenek pinky.
“Beneran
kamu mau jadi menteri pengangkut sampah?” tanya Ronald dalam perjalanan pulang.
“Apa?
menteri pengangkut sampah? cita-cita yang aneh,” gumam Hendy kakak Ronald yang
pulang bersama mereka.
“Memangnya
salah?” langkah Giya terhenti. Ia berdiam sejenak. Ronald dan Hendy
menghentikan langkahnya, memandang gadis kecil berseragam putih merah
dihadapannya.
“Kenapa
sih, orang-orang pada bilang aneh? padahal itu kan tugas mulia.” Giya berbicara setengah membentak.
Kesal, sebal, ia tak suka pendapatnya dipatahkan.
Hendy
dan Ronald tercengang, ia mendengarkan penuturan Giya tentang cita-citanya yang
terbilang tak biasa. Tapi sedetik
kemudian kembali tersenyum ke arah Giya. Mereka kembali menikmati perjalanan
pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan perumahan yang tenang.
‘Trererererereret...JDUT...trik...trik...trik’
“Dasar
anak kecil kribo nakal!!!” Giya mengutuk anak kecil berambut keriting yang baru
saja lewat di depannya dan nyaris menabraknya.
“Sabar
Giya, jangan dikejar. Dia kan cuma anak kecil!” Hendy mencoba menenangkan Giya
yang ingin mengejar anak keriting bersepeda itu. lagi-lagi Hendy menenangkannya
dan kembali menuju jalan pulang dipayungi awan yang teduh siang ini..
***
“Ayah
pulang!” Giya pun membuka pintu dan segera meloncat ke tubuh ayah. Seperti
biasanya ibu menyiapkan makan malam. Membuat secangkir kopi untuk ayah sambil
menjaga Arul yang berada di dalam baby
walker.
“Owh...jagoan-jagoan
ayah...,” ayah menciumi Giya dan adiknya yang bernama Ari. Keduanya
bergelayutan manja di tangan ayah.
Suasana
rumah yang hangat. Ibu menghidangkan makanan kesukaan Giya dan Ari. Oseng
kangkung dan telur dadar kecap. Sesekali ibu terlihat kerepotan juga menyiapkan
makan malam untuk keluarga sambil mengajak Arul berbicara di dalam baby walkernya.
“Ta...ta...ta...ta...nananana....”
Arul berceloteh kata-kata yang belum jelas. Kakinya berjalan-jalan tanpa arah.
Giya dan Ari mamantau perkembangan adiknya yang lucu sambil memainkan sendok
menjadi orang-orangan. Dengan cepat pula ciuman gemes Giya mendarat di pipi
Arul yang tembem.
‘Muuuach....’
Makan
malam yang menyenangkan walau hanya dengan makanan seadanya. Oseng kangkung,
telur dadar, tempe, ikan asin dan sambal terasi khas Indonesia. Makanan
sederhana yang disihir menjadi jamuan mewah bintang lima oleh ibu. Ari dan Giya
pun makan dengan lahapnya setelah berdoa dibawah pimpinan ayah.
“Jangan
lupa dihabiskan yah!” seru ibu kepada Giya dan Ari adiknya. Dengan mulut penuh
makanan, mereka pun mengangguk setuju.
Seusai
makan malam ayah mengambil sepucuk surat pemberitahuan dari sekolah yang
tergeletak di meja tamu.
“Arifin
Hasyim Dalam minggu ini, ananda selalu mendapatkan nilai sangat istimewa,
Ananda termasuk anak yang jenius di kelas. Kritis dan penuh semangat belajar.”
Mata ayah berbinar senang membaca laporan perkembangan Ari hingga melabuhkan
pelukan ke anak lelakinya itu.
Surat
kedua dibuka ayah. Hanya surat tagihan kredit bank. Tadinya ayah berharap itu
adalah surat laporan perkembangan belajar putrinya.
“Kemana
surat hasil belajarmu Giya?” tanya ayah. Sambil menggeret kursi makan ke depan
kulkas, Giya memanyunkan bibirnya seperti moncong senapan yang siap menembak
kata-kata jitu berupa jawaban saat ditanya ini dan itu oleh ayah tentang
laporan perkembangannya. Giya membuka frezer
tempat pembeku es yang berada di bagian paling atas kulkas. Diambilnya gulungan
kertas yang teronggok didalamnya.
“Owh...tempat
penyimpan surat laporan yang menakjubkan. Semoga saja tidak rusak,” tutur ayah
kepada putrinya sambil mengambil surat dari tangan mungil putrimya kemudian
langsung membuka surat tersebut.
“Giya Gazelia. Sebenarnya,
ananda adalah anak yang cerdasnya di atas rata-rata. Tetapi terkadang
kejailannya yang tidak terpantau membuat beberapa teman-temannya geram. Selalu
keluar pada saat jam belajar di kelas dan beralasan apapun agar tidak
berlama-lama di kelas pada jam pelajaran matematika. Secara umum Giya tidak mau
mengikuti peraturan yang ada dan selalu mendebatnya.”
Ayah
menyudahi bacaannya dan memandang Giya putrinya. Ayah sedikit berjongkok agar
sejajar dengan Giya yang tepat berhadapan dengannya. Satu metode yang
disampaikan ayah dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Ayah selalu mencoba
bersejajar dengan mereka. Mata bertemu mata.
“Pasti
ayah marah?” tanya Giya takut-takut. Giya pun merunduk. Suasana hening. Ayah menatap kertas laporan lalu
menatap Giya secara bergantian.
Ari
tengah asik berimajinasi sebagai seorang pilot pesawat dengan mainan tutup
pancinya diruang tengah. Tak peduli apa yang terjadi pada laporan tentangnya
disekolah atau laporan tentang kakaknya yang sedang dipegang ayah. Ari sibuk
dengan dunianya sejenak.
“Giya masih mau belajar di sekolah itu?” tanya
Ayah perlahan pada Giya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Giya. Hanya
anggukan seorang anak kecil yang rambutnya bergoyang-goyang sambil memanyunkan
bibirnya.
Bahasa
tubuh seorang anak dalam menyampaikan pesan. Pesan yang semua orang harus tau
kalau dirinya masih mau belajar disekolah walau terkadang sistem persekolahan
yang ada tak pernah berpihak untuk anak-anak seperti Giya yang sering merasa
dipaksa dan dipenjarakan kebebasannya.
“Kenapa
kamu masih saja jail seperti dulu? kapan kamu akan berubah? Giya bukan kelas
satu lagi kan?” tutur Ayah lembut kepada putri kecilnya. Ayah tak habis fikir
dengan Giya dan sekolah yang
dijalaninya. Dari dulu, laporan perkembangan yang ada hingga sekarang masih
saja sama. Tak ada perkembangan berarti bagi putrinya. Entah siapa yang salah.
Berbeda
dengan Ari yang selalu mendapatkan pujian dari gurunya, anak lelaki yang sangat
digemari oleh guru dan teman-temannya begitupun dengan keluarga ayah dan
ibunya. Sementara Giya harus menerima keadaan sebaliknya. Hanya Ronald dan
Hendy yang masih setia menjadi temannya.
“Aku
nggak mau sekolah ayah!!” geram Giya tiba-tiba. Ayah pun terkejut dengan
penuturan spontan putrinya. Begitupun ibu yang langsung ikutan terduduk sejajar
dengan ayah dan Giya.
“Kenapa
kamu berkata demikian? tadi kamu masih mau belajar disekolah, sekarang kamu
bilang tidak mau. Ayolah jangan membuat kami semakin bingung denganmu Giya.”
tanya ibu pada Giya.
“Mereka
semua menyebalkan dan membenciku ayah!”
“Itu
bukan suatu alasan.” Ayah menyambar percakapan.
“Tapi
itu benar ayah!” ucap Giya mantap. Wajahnya kini tak merunduk ragu-ragu.
Matanya menyeringai tajam tepat berhadapan dengan ayah dan ibunya. Seakan
menantang siapapun didepannya. Giya kembali melanjutkan alasannya.
“...dan
aku nggak suka dengan semua paksaan yang ada!” Tuturnya kembali tajam.
Ayah
dan ibu tak bergeming. Sambil mengajak putri cerdasnya berdiskusi, ayah dan ibu
sengaja menatap mata Giya lamat-lamat.
“Kenapa?
Apa kamu gak mau jadi orang sukses?” tanya ayah pada Giya. Ibu masih tak faham
dengan penuturan anaknya yang tiba-tiba membuatnya terhenyak. Kaget. Padahal
sebelumnya Giya masih mau bersekolah.
“Kenapa
hidup itu harus dipaksa? Kenapa aku harus jadi dokter sementara aku tak mau
menjadi dokter. Kenapa cita-citaku sebagai menteri pangangkut sampah harus
ditertawakan teman-teman? Sementara Melani yang ingin menjadi artis tak pernah
ditertawakan? Ini sungguh tidak adil bagiku ayah!” Celoteh Giya membrondong
alasan.
“Ayah,
kenapa aku harus menulis dengan pensil sih?
Sementara kelak aku besar nanti, aku sudah nggak mungkin menulis dengan pensil
kayu. Sekarang sudah ada telefon, sudah ada handphone kenapa aku masih saja
disuruh menulis dengan pensil kayu yang terkadang sering kali patah. Ini
menghambat pekerjaanku. Belum lagi ketika ibu guru menyuruhku menulis ini ibu budi. Lalu aku menulis ini ibu Giya. Ibu guru tidak
memperbolehkannya. Ia memarahiku ayah! aku meminta alasanya, tapi ibu guru nggak pernah memberi alasan
kepadaku. Guru macam apa itu!!” ayah terkejut mendengar penuturan putrinya yang
tak biasa. Pendapat masuk akal namun tak
sepadan dengan usianya sekarang. Kecerdasan Giya memang diatas rata-rata anak
pada umumnya. Walau terkadang orang menganggapnya sebagai anak yang aneh dan
nakal.
Ibu
dan ayah terheran-heran dibuatnya, mereka saling berpandangan memahami tingkah
putri kecilnya pada fase kongkritual ini. fase kritis, serba ingin tau, mencari
perbandingan antara lingkungan dengan dirinya. Kekritisan yang ada pada dirinya
adalah hasil dari keingin tahuannya tentang sesuatu yang jelas dan tidak
samar-samar. Lantas saja beberapa anak seperti Giya sering kali berbenturan
dengan kondisi dan kebiasannya
Ayah
dan ibu tak menjawab. Mereka hanya tertawa geli memandang kutukan Giya yang
menyerang bertubi-tubi. Celotehan seorang anak kecil yang tak biasa. Geli, lucu
sekaligus takjub tak terkira.
“Ayah
dan ibu mentertawakan aku. Aku seperti badut yang sedang menghibur orang-orang
untuk ditertawakan!!” Giya semakin geram mengutuk. Ia berlari menuju kamar
orangn tuanya dan mencorat-coret di kaca meja rias mereka dengan lipstick yang
ia temukan dimeja rias.
“Apakah Giya seperti badut!!??” lalu
disudahi dengan gambar emotion menangis dan marah. Mencoba menarik perhatian
kedua orang tuanya saat masuk ke dalam kamar.