Kamis, 14 September 2017

EXPLORE BANDUNG (Braga dan Tebing Kraton)

meetingpoint at stasiun Gambir Jakarta







Bandung, kota kembang yang sudah lama jadi destinasi wisata setiap minggunya bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Hanya ditempuh dalam waktu kurang dari  3 jam kita sudah bisa menginjakan kaki di bumi pasundan. eittss...tapi itu kalau hari biasa yah, Tapi kalau hari libur jangan ditanya, macetos. 

Nah, kali ini saya akan ngetrip ber-4. maklumlah yah saat itu masih pada jadi jomblo-jomblo bahagia. Alias JOJOBA. Modal nekad padahal jujur saja uang sekarat 😂. akhirnya kita bagi tugas. Mis Dwi urus perjalanan berangkat dan pulang, Mis Sarah bagian malak-malakin buat patungan. Saya  mencari destinasi yang oke, sesuai budget dan mencari chanel buat main basa-basahan. Sedangkan mis Pita, dia cukup izin ke ortu dulu deh. Karena dia yang belum pernah ngebolang ala ala kaya gini hehehe. 

food truck braga
Perjalanan dimulai dari stasiun Gambir Jakarta Pusat. Tket sudah dibeli ala koper. yup, naik kereta eksekutif. budgetnya 100 ribuan. Cukup eksklusif lah buat saya yang biasa ngegembel pake kereta Gaya Baru Malam. ngetrip cantik dulu kita. Kereta ini memang Eksklusif banget. elegant dan bersih. kursinya bisa diputar, ada tempat buat penyangga kaki, bantal dan selimut plus bonusnya bisa ketemu sama cowok korea yang 11-12 sama lee min ho (Ini sih kebetulan aja). Tapi yang gak enaknya adalah, kalian harus nonton TV Flat yang gambarnya bagus, cuma isinya siaran kereta doang atau film-film berbahasa mandarin yang gak ada running textnya.  

saat di perjalanan, diusahakanjangan tidur  yah. Sayang banget! karena pemandangannya bikin seger mata. apalagi saat itu, saya berangkat jam 09.00 pagi dari Jakarta. kereta menyyusuri gunung, lembah, hutan dan perbukitan. adapun sawah-sawah yang memanjakan mata tergelar bak permadani pokoknya jempolan deh. Tapi kalau bosan, baeklah tidur adalah salah satu penawarnya hihihi. 

2 Jam perjalanan menggunakan kereta Argo Parahyangan hingga sampailah di Stasiun Bandung. Alhamdulillah, saat itu ada tawaran nginep di kantornya salah satu rekan kerja di sekolah. mereka menawarkan nginep dan gratis selama di Bandung. tetapi, memang mbak yang punya kantor tersebut sudah ngasih tau bahwa ini rumah disulap jadi kantor. Rumahnya ada 2 lantai. Lantai pertama dijadikan kantor, dan lantai dua dijadikan tempat tinggal. lumayanlah yah, dari pada ngegembel di emperan toko. Scara saya dan ketiga teman saya gak ada yang orang Bandung. 

Mbak Harni, namanya (sengaja disamarkan). Wanita berjilbab yang menjemut kami di stasiun Bandung. Gadis yang ramah dan berpenampilan anti mainstreem ini mencirikan dirinya agar cepat dikenal oleh  saya dan teman-teman. Kaos oblong merah, celana jeans yang ada aksen sobek-sobeknya, sepatu snacker beserta jilbab yang simple aja  tuturnya saat saya tanyakan memakai baju apa nanti saat menjemput (Maklum karena sebelumnya memang belum pernah bertemu).

Saya dan teman-teman diajak jalan-jalan terlebih dahulu berputar-putar  kota Bandung dengan mobi yang dikendarai oleh salah satu mitranya sambill mengenal lebih jauh tentang mbk Harni dan perusahaan media online yang kini ia pimpin. 

Malam Pertama di kota Bandung. Mau kemana kita??? jalan-jalan ke Braga dan alun-alun mesjid raya. Perjalanan saya di bandung dimulai dari Braga terlebih dahulu. Foto-foto di pinggir jalan, sampai nongkrong di truck cafe dan disitulah pertama kalinya saya kenal makanan bernama nacos kwkwkwkw. Puas jalan-jalan di Braga, sampai maghrib tiba, saya melipir mencari musholah namun jauhh dan sholatlah kita dimusholah yang berada di dalam mall.  entahlah yah, namanya mall apa. Tapi baju-baju yang dijual nya rata-rata seharga handphoe pertama saya Nokia 3310 dan nampaknya itupun baju yang termurah.  Malamya kita menuju ke alun-alun mesjid raya Bandung. Pas banget saat itu sedang ada festival hari anti korupsi. langsung saja kita ikut membubukan tanda tangan sekaligus harapan untuk Indonesia yang bebas dari korupsi. Setelah lelah main-main di alun-alun mesjid raya, saya kembali ke tempat menginap yang berada di buah batu Bandung 500 meter dari Poltek Negeri Bandung. Merebahkan badan di kasur tipis, dan bersiap merancang petualangan besok pagi. Yup! tebing keraton. 
tebing kraton

Perjalanan Hari kedua. 
pukul 08.00 pagi mis Dwi sudah memesan grab taxi untuk sampai ke tujuan kedua. Tebing Kraton. Tebing Keraton berada di Tahura atau Taman Hutan Raya yang berada di  Dago Pakar. Menurut penduduk setempat, tebing kraton dinamai karena keindahaannya (silahkan dibaca : Tebing kraton ). Sebelum ke tebing kraton, kita foto-foto cantik dulu di antara pohon cemara yag ada di tahura. lalu, bersiaplah untuk hikking ke puncak tebing kraton. oh iya, kalau yang tidak kuat jalan, bisa memakai jasa ojek juga kok. Cukup membayar 30.000 saja. Tapi kalau low budget kaya saya, mendingan jalan deh. Lagian kita juga gak mau balapan untuk nanjak, kok. Owh iya, jasa ojek itu haruskalian tawar yah... jangan telalu sadis juga nawarnya. 20.000  cukup lah jangan sampe 5000 perak yah. Itu mah pelit!
Tahura dagopakar
Sebenarnya, nanjak ke atas tebing kraton bisa juga melewati bukit moko, namun sayangnya kita berempat gak ada yang tau hehe. Walhasil kita tetap melalui jalur reguler. Owh iya, di sepanjang perjalanan menuju tebing keraton, banyak villa dan adabeberapa rumah yang memiliki anjing. Bagi yang takut dengan binatang rumahan ini, saran saya harusberhati-hati.  Jangan panik, karena mereka gak akan mengejar atau menggigit jika kita tenang. Stay cool aja walaupun sebenarnya takut. Kita juga akan melewati perkebunan, hutan lindung, hingga perkampungan warga sekitar. Jadi, kalau gak tau jalan, kita bisa bertanya kepada warga sekitar. Karena mereka pastinya tau dimana letak tebing kraton yang menjadi  tujuan. Nah, akhirnya sampailah di depan pintu gerbang objek wisata Tebing Kraton. Tiketnya 11.000 untuk wisatawan domestik. Sementara 76.000 untuk wisatawan mancanegara.
Jika sudah masuk kedalam arena tebing kraton,hati-hati yah...karena tebingnya curam sekali. Namun pemandangannya elok nian.
Saya pun terpana dengan keelokan tebing. Menikmati pemandangan, berfoto, dan bersantai adalah cara membahagiakan diri saat sendiri (maklum kita berempat saat itu masih jomblo). Setelah hari mulai sore, saya pun bergegas turun dan pulang menggunakan ojek online. Makasih yah babang gojek yang udah bantu ngurangin beban betis. Karena keesokan harinya petualangan ke Kab.Bandung bagian selatan pastinya lebih menantang. Simak terus yah petualangan selanjutnya. Mata gak bisa kompromi. See you

Kamis, 07 September 2017

GIYA (antara dinamika anak dan keluarga)


Semua siswa nampaknya antusias dengan pelajaran tentang pekerjaan. Satu-satu, Miss Sofi mempersilahkan mereka maju kedepan untuk mengungkapkan cita-citanya kelak dalam bekerja.
            “Melani, Silahkan maju kedepan, coba ungkapkan keingananmu kelak akan bekerja pada bidang apa?” tutur Miss Sofi. Gadis berambut ikal dengan mata bundar yang menawan itu melangkah pasti kedepan kelas. Senyumnya yang berpadu dengan keindahan lesung pipinya bagai guratan matahari pagi yang cerah dan menaburkan kesegaran. Melani siap dengan ungkapannya. Seluruh anakpun siap menjadi pendengarnya. Begitupun dengan Giya yang terlihat bertumpang dagu menunggu penuturan Melani.
            “Aku Ingin sekali menjadi seorang artis seperti Asmiranda. Dia cantik, baik dan terkenal.” Sempurna, gadis ini menuturkan pendapatnya dengan jelas dan ekspresi yang sangat menawan cocok sekali menjadi seorang artis papan atas seperti yang diimpikannya sejak dini. Beberapa anak terdengar  berceletuk. Ia lah dia bisa jadi artis, kan dia cantik dan anak orang kaya.
            “Baik, siapa lagi yang mau mengungkapkan keinginannya kelak bekerja dimana. Ok Hands Up!” seru Miss Sofi kepada para siswa-siswinya.
            Me teacher...” Giya mengangkat tangan kanannya untuk maju ke depan.
            Sekarang, giliran dirinya maju menunjukan kemampuannya dalam mengungkapkan impiannya dalam bekerja.
            “Silahkan Giya, ungkapkan keinginanmu.” Gadis itu melangkahkan kakinya  dengan mantap. Seperti seorang menteri yang kelak akan ditepuki dan disalami oleh orang banyak. Ia merasakan tepukan tangan penghormatan dan teriakan orang-orang yang mengelu-elukan namanya. Giya siap dengan pidatonya sebagai seorang menteri di podium yang kini masih menjadi ruang kelas dengan disply-disply menakjubkan.
            “Ketika aku besar nanti aku akan menjadi menteri pengangkut sampah....”
            “Wahahahahah....” Kompak seluruh siswa di kelas itu tertawa terbahak-bahak dengan ucapan Giya begitupun dengan Miss Sofi yang tak kalah gelinya dengan teman-teman yang lain. Namun, Miss Sofi masih mencoba netral dengan mengajak siswa-siswanya kembali tenang.
            Wajah Giya kebingungan dengan tawa rekan-rekannya. Dahinya mengernyit matanya memandang teman-temannya dengan mimik tak faham.
            “Kok pada ketawa? emang ada yang salah yah?” tanya Giya tak faham.
            “Kamu masih mau melanjutkan Giya?” tanya Miss Sofi kepadanya. Ia pun mengangguk untuk meneruskan penuturannya.
            “Baik, silahkan diteruskan,”
            Giya melanjutkan pidatonya sebagai seorang menteri pengangkut sampah. Bidang pekerjaan yang belum pernah ada di dunia ini. Baginya menteri kesehatan saja tidak cukup untuk mengurus segala sampah yang ada di negara ini. Negara ini butuh satu bidang khusus yang mengurusi sampah-sampah tak berfungsi menjadi barang jadi.
            Seisi kelas riuh bertepuk tangan mendengarkan tuturan Giya. Begitu pun Miss Sofi yang  takjub dengan penuturan siswinya yang luar biasa pagi itu.
            “Terima kasih teman-teman semua. Ibu menteri akan kembali ke mejanya.” Giya kembali ke meja kursinya yang berada dibarisan ke tiga lini tengah bersama senyum yang mengembang. Beberapa anak memandang kagum dengan Giya namun Melanie masih menganggapnya sebagai hal yang biasa bahkan aneh.
            Pagi yang beranjak siang. Tepat pukul 13.00 wib Giya dan teman-temannya kembali pulang ke rumah masing-masing. Giya pulang bersama Ronald dan Hendy yang  kebetulan searah dengannya. Yah, sama-sama melewati rumah nenek pinky. Nenek yang hobinya memakai baju berwarna pink. Nenek Pinky memiliki sejumlah anjing yang besar-besar. Hal inilah yang terkadang membuat Giya harus berputar arah perjalanan pulang ketika Ronald dan Hendy tidak masuk agar tidak melewati rumah nenek pinky.
            “Beneran kamu mau jadi menteri pengangkut sampah?” tanya Ronald dalam perjalanan pulang.
            “Apa? menteri pengangkut sampah? cita-cita yang aneh,” gumam Hendy kakak Ronald yang pulang bersama mereka.
            “Memangnya salah?” langkah Giya terhenti. Ia berdiam sejenak. Ronald dan Hendy menghentikan langkahnya, memandang gadis kecil berseragam putih merah dihadapannya.
            “Kenapa sih, orang-orang pada bilang aneh? padahal itu kan tugas  mulia.” Giya berbicara setengah membentak. Kesal, sebal, ia tak suka pendapatnya dipatahkan.  
            Hendy dan Ronald tercengang, ia mendengarkan penuturan Giya tentang cita-citanya yang terbilang tak biasa.  Tapi sedetik kemudian kembali tersenyum ke arah Giya. Mereka kembali menikmati perjalanan pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan perumahan yang tenang.
            ‘Trererererereret...JDUT...trik...trik...trik’
            “Dasar anak kecil kribo nakal!!!” Giya mengutuk anak kecil berambut keriting yang baru saja lewat di depannya dan nyaris menabraknya.
            “Sabar Giya, jangan dikejar. Dia kan cuma anak kecil!” Hendy mencoba menenangkan Giya yang ingin mengejar anak keriting bersepeda itu. lagi-lagi Hendy menenangkannya dan kembali menuju jalan pulang dipayungi awan yang teduh siang ini..
***
            “Ayah pulang!” Giya pun membuka pintu dan segera meloncat ke tubuh ayah. Seperti biasanya ibu menyiapkan makan malam. Membuat secangkir kopi untuk ayah sambil menjaga Arul yang berada di dalam baby walker.             
            “Owh...jagoan-jagoan ayah...,” ayah menciumi Giya dan adiknya yang bernama Ari. Keduanya bergelayutan manja di tangan ayah.
            Suasana rumah yang hangat. Ibu menghidangkan makanan kesukaan Giya dan Ari. Oseng kangkung dan telur dadar kecap. Sesekali ibu terlihat kerepotan juga menyiapkan makan malam untuk keluarga sambil mengajak Arul berbicara di dalam baby walkernya.
            “Ta...ta...ta...ta...nananana....” Arul berceloteh kata-kata yang belum jelas. Kakinya berjalan-jalan tanpa arah. Giya dan Ari mamantau perkembangan adiknya yang lucu sambil memainkan sendok menjadi orang-orangan. Dengan cepat pula ciuman gemes Giya mendarat di pipi Arul yang tembem.
            ‘Muuuach....’ 
            Makan malam yang menyenangkan walau hanya dengan makanan seadanya. Oseng kangkung, telur dadar, tempe, ikan asin dan sambal terasi khas Indonesia. Makanan sederhana yang disihir menjadi jamuan mewah bintang lima oleh ibu. Ari dan Giya pun makan dengan lahapnya setelah berdoa dibawah pimpinan ayah.
            “Jangan lupa dihabiskan yah!” seru ibu kepada Giya dan Ari adiknya. Dengan mulut penuh makanan, mereka pun mengangguk setuju.
            Seusai makan malam ayah mengambil sepucuk surat pemberitahuan dari sekolah yang tergeletak di meja tamu.
            “Arifin Hasyim Dalam minggu ini, ananda selalu mendapatkan nilai sangat istimewa, Ananda termasuk anak yang jenius di kelas. Kritis dan penuh semangat belajar.” Mata ayah berbinar senang membaca laporan perkembangan Ari hingga melabuhkan pelukan ke anak lelakinya itu.
            Surat kedua dibuka ayah. Hanya surat tagihan kredit bank. Tadinya ayah berharap itu adalah surat laporan perkembangan belajar putrinya.
            “Kemana surat hasil belajarmu Giya?” tanya ayah. Sambil menggeret kursi makan ke depan kulkas, Giya memanyunkan bibirnya seperti moncong senapan yang siap menembak kata-kata jitu berupa jawaban saat ditanya ini dan itu oleh ayah tentang laporan perkembangannya. Giya membuka frezer tempat pembeku es yang berada di bagian paling atas kulkas. Diambilnya gulungan kertas yang teronggok didalamnya.
            “Owh...tempat penyimpan surat laporan yang menakjubkan. Semoga saja tidak rusak,” tutur ayah kepada putrinya sambil mengambil surat dari tangan mungil putrimya kemudian langsung membuka surat tersebut.
            “Giya Gazelia. Sebenarnya, ananda adalah anak yang cerdasnya di atas rata-rata. Tetapi terkadang kejailannya yang tidak terpantau membuat beberapa teman-temannya geram. Selalu keluar pada saat jam belajar di kelas dan beralasan apapun agar tidak berlama-lama di kelas pada jam pelajaran matematika. Secara umum Giya tidak mau mengikuti peraturan yang ada dan selalu mendebatnya.”
            Ayah menyudahi bacaannya dan memandang Giya putrinya. Ayah sedikit berjongkok agar sejajar dengan Giya yang tepat berhadapan dengannya. Satu metode yang disampaikan ayah dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Ayah selalu mencoba bersejajar dengan mereka. Mata bertemu mata.
            “Pasti ayah marah?” tanya Giya takut-takut. Giya pun merunduk. Suasana  hening. Ayah menatap kertas laporan lalu menatap Giya secara bergantian.
            Ari tengah asik berimajinasi sebagai seorang pilot pesawat dengan mainan tutup pancinya diruang tengah. Tak peduli apa yang terjadi pada laporan tentangnya disekolah atau laporan tentang kakaknya yang sedang dipegang ayah. Ari sibuk dengan dunianya sejenak.
             “Giya masih mau belajar di sekolah itu?” tanya Ayah perlahan pada Giya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Giya. Hanya anggukan seorang anak kecil yang rambutnya bergoyang-goyang sambil memanyunkan bibirnya.
            Bahasa tubuh seorang anak dalam menyampaikan pesan. Pesan yang semua orang harus tau kalau dirinya masih mau belajar disekolah walau terkadang sistem persekolahan yang ada tak pernah berpihak untuk anak-anak seperti Giya yang sering merasa dipaksa dan dipenjarakan kebebasannya.
            “Kenapa kamu masih saja jail seperti dulu? kapan kamu akan berubah? Giya bukan kelas satu lagi kan?” tutur Ayah lembut kepada putri kecilnya. Ayah tak habis fikir dengan Giya  dan sekolah yang dijalaninya. Dari dulu, laporan perkembangan yang ada hingga sekarang masih saja sama. Tak ada perkembangan berarti bagi putrinya. Entah siapa yang salah.
            Berbeda dengan Ari yang selalu mendapatkan pujian dari gurunya, anak lelaki yang sangat digemari oleh guru dan teman-temannya begitupun dengan keluarga ayah dan ibunya. Sementara Giya harus menerima keadaan sebaliknya. Hanya Ronald dan Hendy yang masih setia menjadi temannya.
            “Aku nggak mau sekolah ayah!!” geram Giya tiba-tiba. Ayah pun terkejut dengan penuturan spontan putrinya. Begitupun ibu yang langsung ikutan terduduk sejajar dengan ayah dan Giya.
            “Kenapa kamu berkata demikian? tadi kamu masih mau belajar disekolah, sekarang kamu bilang tidak mau. Ayolah jangan membuat kami semakin bingung denganmu Giya.” tanya ibu pada Giya.
            “Mereka semua menyebalkan dan membenciku ayah!”
            “Itu bukan suatu alasan.” Ayah menyambar percakapan.
            “Tapi itu benar ayah!” ucap Giya mantap. Wajahnya kini tak merunduk ragu-ragu. Matanya menyeringai tajam tepat berhadapan dengan ayah dan ibunya. Seakan menantang siapapun didepannya. Giya kembali melanjutkan alasannya.
            “...dan aku nggak suka dengan semua paksaan yang ada!” Tuturnya kembali tajam.
            Ayah dan ibu tak bergeming. Sambil mengajak putri cerdasnya berdiskusi, ayah dan ibu sengaja menatap mata Giya lamat-lamat.
            “Kenapa? Apa kamu gak mau jadi orang sukses?” tanya ayah pada Giya. Ibu masih tak faham dengan penuturan anaknya yang tiba-tiba membuatnya terhenyak. Kaget. Padahal sebelumnya Giya masih mau bersekolah.
            “Kenapa hidup itu harus dipaksa? Kenapa aku harus jadi dokter sementara aku tak mau menjadi dokter. Kenapa cita-citaku sebagai menteri pangangkut sampah harus ditertawakan teman-teman? Sementara Melani yang ingin menjadi artis tak pernah ditertawakan? Ini sungguh tidak adil bagiku ayah!” Celoteh Giya membrondong alasan.
            “Ayah, kenapa aku harus menulis dengan pensil sih? Sementara kelak aku besar nanti, aku sudah nggak mungkin menulis dengan pensil kayu. Sekarang sudah ada telefon, sudah ada handphone kenapa aku masih saja disuruh menulis dengan pensil kayu yang terkadang sering kali patah. Ini menghambat pekerjaanku. Belum lagi ketika ibu guru menyuruhku menulis ini ibu budi. Lalu aku menulis ini ibu Giya. Ibu guru tidak memperbolehkannya. Ia memarahiku ayah! aku meminta alasanya,  tapi ibu guru nggak pernah memberi alasan kepadaku. Guru macam apa itu!!” ayah terkejut mendengar penuturan putrinya yang tak biasa. Pendapat masuk akal namun  tak sepadan dengan usianya sekarang. Kecerdasan Giya memang diatas rata-rata anak pada umumnya. Walau terkadang orang menganggapnya sebagai anak yang aneh dan nakal.
            Ibu dan ayah terheran-heran dibuatnya, mereka saling berpandangan memahami tingkah putri kecilnya pada fase kongkritual ini. fase kritis, serba ingin tau, mencari perbandingan antara lingkungan dengan dirinya. Kekritisan yang ada pada dirinya adalah hasil dari keingin tahuannya tentang sesuatu yang jelas dan tidak samar-samar. Lantas saja beberapa anak seperti Giya sering kali berbenturan dengan kondisi dan kebiasannya
            Ayah dan ibu tak menjawab. Mereka hanya tertawa geli memandang kutukan Giya yang menyerang bertubi-tubi. Celotehan seorang anak kecil yang tak biasa. Geli, lucu sekaligus takjub tak terkira.
            “Ayah dan ibu mentertawakan aku. Aku seperti badut yang sedang menghibur orang-orang untuk ditertawakan!!” Giya semakin geram mengutuk. Ia berlari menuju kamar orangn tuanya dan mencorat-coret di kaca meja rias mereka dengan lipstick yang ia temukan dimeja rias.
            “Apakah Giya seperti badut!!??” lalu disudahi dengan gambar emotion menangis dan marah. Mencoba menarik perhatian kedua orang tuanya saat masuk ke dalam kamar.