“Mas,
abis ini flying fox kan?” Tanya
seorang perempuan dengan jilbab pink
siang itu
“Iya
mbak” Jawabku datar tanpa melihat sedikitpun kearah nya
“Mas,
maaf ya saya sedang bertanya pada anda, seharusnya lihatlah ke arah lawan
bicara anda!”. Aku hanya tersenyum menyembunyikan wajahku. Memang inilah aku
sesungguhnya. Aku tak terbiasa memandang wajah perempuan yang hendak bicara
kepadaku. Selain muhrimku sendiri.
“Maaf
mbak, kalau sikap saya tidak berkenan”. Ia menghilang dengan cepat dari
peredaran mataku setelah mendapatkan sikap yang mungkin tak menyejukan.
Hari yang sibuk. Ketua project MOS
(Masa Orientasi Siswa ) yang lincah. tak cukup hanya sekedar menjadi leader yang mengeluarkan banyak
perintah, tetapi gadis berjilbab pink itu terjun langsung ke arena untuk
bergabung dengan team, bahkan hingga
ke bagian security sekolah dan Office
Boy. Gadis yang energik, lincah, piawai
dalam berkomunikasi, ‘care’ pada
murid-murid, sikap ramah dan hangat juga di perlihatkan pada orang tua . Benar-benar
dedikasi yang tinggi dalam pekerjaan.
Acara hari itu pun usai sudah,
gadis itu terlihat amat lelah dibalik jilbab pink yang ia kenakan. Namun masih
saja ia setia melayani anak-anak beserta orang tua mereka dengan hangat.
“Makan dulu aja yuk, jangan pulang dulu kan
jauh ke Bogor. Lagi pula kita udah siapin makan siang buat temen-temen out bond juga” ucapnya pada Ari. Aku
masih sibuk membereskan tambang yang digunakan.
Ari memang terlihat akrab dengannya
saat itu. Entah apa yang kalian bicarakan. Baru kali ini aku melihat Ari bisa
tertawa lepas dengan seorang perempuan. Gadis yang amat piawai mengambil hati Ari sebagai clien hari itu. Ari sang ketua team out
bond saat itu. Seorang leader yang cerdas, penuh strategi dan
kreatifitas. Lelaki yang amat mungkin dipuja banyak wanita. Fikirku.
Suatu
sore di kosan.
“Dewa,
dapet salam dari Dewi sama mbak Yofita” tutur Ari. Tangannya masih menggenggam
ponsel.
“Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakaatuh, Dewi?Yofita? siapa?lupa” jawabku datar
“itu
loh, temen guwe yang guru di sekolah alam bintang kecil itu...kan waktu itu
kita yang ngisi out bondnya. Mbak
Yofita itu yang ketua teamnya, sementara Dewi itu yang penanggung jawab outbond
hari itu” aku mencoba mengingat hari itu.
“Masih
lupa wa? parah, cewek selucu Yofita bisa dilupain. Jangan-jangan elo gak normal
yah?” Tutur Ari mengejek. Aku hanya tersenyum getir dengan ejekannya. Entah
mengapa, jika ditengah-tengah pria seperti Ari, aku selalu merasa kalah
dengannya. Hingga sejauh ini saja aku enggan membuka pertemanan khusus dengan
seorang gadis. Jangankan kekasih, teman dekat pun tak ada. Bukan karena aku tak
normal, bisa jadi sikap dinginku (kebanyakan orang bilang) yang terkadang
membuat para gadis enggan menjalin pertemanan denganku.
Fajar menggulung gelap, aktifitas
pagi kota Bogor dan sekitarnya, nyayian burung-burung yang menari diatas
perkebunan teh milik warga mengawal pagi ku di awal Februari 2012 ini.
berkejaran dengan waktu yang tak kenal ampun. Sejenak ku parkir bebek hitamku
di depan warung kopi untuk sekedar sarapan. Nasib bujangan semoga aku tak jadi
bujang lapuk yang dimakan usia.
“Ok,
terima kasih bu,,,” suara seorang gadis yang mungkin aku kenal. Aha!
dia...dia...dia guru di sekolah alam itu. Entah dia Yofita ataukah Dewi. akhirnya
memberanikan diri menghampirinya untuk menyapa. Hebat, seperti ada kekuatan
yang datang tiba-tiba. Padahal jelas tak biasanya aku seperti ini.
“....Sepertinya
pernah ketemu, dimana yah?” tanyaku memberanikan diri. Gadis itu menoleh takjub
dengan senyum mengembang.
“Waaa...
ketemu disini ya mas Dewa...” apa? Dia memanggil namaku, dia masih ingat
denganku, aku saja lupa siapa dia.
“
Tapi nama mbak ini siapa yah??saya saja lupa”.
“Aku
Yofita mas, guru di sekolah alam yang pernah dikunjungi team outbond nya mas Dewa dan Ari”
“Oh,
iya iya...ingat, ingat..bla bla bla...”
kami hanyut dalam percakapan seru pembuka hari di warung itu.
Hey
gadis, setelah beberapa bulan lamanya aku baru melihatmu kembali. Kamu yang
enerjik dan penuh dedikasi, kamu yang lucu, kamu yang manja. Hari ku spesial
dengan hadirmu kini. Waktu bergulir menyenangkan, kalau saja aku bisa
menuliskan nama mu pada langit biru, aku akan menulisnya dengan tinta emas agar
orang tau berharganya kamu saat ini duhai Yofita.
“Hari
ini datang kerumah ya...orang tuaku mau bertemu kamu mas”. Apa??bertemu orang
tua Yofita? Tidak tidak, aku tidak boleh mundur sejengkal pun. Karena dialah
gadis yang selama ini aku cari.
“Hello,
mas...hello...kok diem”
“Ok
ok baik, nanti malam aku datang ke rumahmu yah”.
Jawabku sekenanya.
“Ok.
See you be there ...”.
Malam sekitar pukul 19.00 WIB.
Akhirnya aku beranikan diri menerima undangan orang tuamu. Ku kenakan Kemeja
biru, dengan celana berwarna dongker
senada. Deg deg-an. Sungguh!. Baru
kali ini aku bertemu dengan orang tua Yofita. Entah akan dapet durian runtuh
atau dilemper tanah liat dimukaku setelah malam ini. akhirnya ku jejakkan juga
didepan pintu rumah Yofita, seorang wanita muda (nampaknya pembantu)
mempersilahkan aku masuk. Tak sampai menunggu lama, Yofitapun keluar dengan
baju biru pastel yang menyejukan.
“wah,
sudah datang, baju kita senada lagi, kayaknya tema malam ini biru.”
“kamu
cantik hari ini”. Spontan aku merayu gadis dihadapanku ini.
“amaca?”
Jawabnya meledek
“Udah
ditunggu ibu sama ayah tuh di ruang makan. Yuk!”. Ajaknya. Aku mengikutinya hingga kedepan meja
makan yangn terhampar berbagai hidangan lezat.
“Silahkan
duduk, nak!” Ibu mempersilahkan aku
duduk didepan hamparan hidangan-hidangan lezat ini.
“Ayo
di sendok nak Dewa, lauknya...” tutur ibu Yofita.
“Mas
Dewa malu-malu nih bu...padahal kalau lagi makan banyak...” lagi-lagi Yofita
membawa keceriaan dimeja makan ini. Gelak tawa membahana. Senyuman berwibawa
ayah Yofita bercampur dengan tawa candaan Yofita kepada kedua orang tuanya.
Hingga membuat keduanya tersipu malu memerah. Gambaran keluarga yang harmonis.
Dengan santai hidangan satu persatu habis tak bersisa. Saat yang menegangkan...
“Pasti
akan ada beberapa pertanyaan”. Fikirku saat itu.
“Kamu
ngekos disini nak Dewa??
“Iya
bu, kebetulan saya juga bekerja di Bogor”. Jawabku singkat.
“...Bekerja
dimana sekarang?”.Giliran si bapak bertanya kepadaku. Yofita sibuk membereskan
meja makan.
“Sekarang
di pabrik spare part motor pak”.
“Nama
perusahaannya?...”. Bapak kembali bertanya. Kali ini Yofita ikut nimbrung
diantara percakapan hangat.
“Mas
Dewa ini di Yanchi Motor pak, dia udah mau diangkat jadi manager loh. Hebat
yah”. Lagi-lagi Yofita kembali menguatkan aku saat terpojok dalam pekerjaan.
“Wah
bagus dong, memangnya dahulu kuliah dimana nak Dewa?” Ibu menanyakan kembali.
Kali ini entah Yofita akan bicara apa. Dia hanya melirik tersenyum ke arahku.
Membri kekuatan.
“Saya
belum sempat kuliah bu, saya hanya lulusan STM”. Entah apa yang ada difikiran kedua
orang tuanya mendengar aku hanya lulusan STM saja. sedangkan Yofita S2 di
kampus ternama. Suasana hening. Saling pandang. Dan Yofita kembali mengangkat
bicara.
“Rencananya
tahun depan mas Dewa akan meneruskan kuliah bu...pastinya setelah menjadi keluarga
bersama aku”. Jawab Yofita sumringah sambil melirik kearahku.
“Insya
Allah, memang rencananya begitu...”. tuturku mencoba meyakinkan
“apa
gak sebaiknya kamu nerusin kuliah dulu baru menikah anak muda?”. Tanya sang
bapak dengan suara berat.
“Yah,
saya rasa itu bisa diatur pak...insya Allah jika bapak berkenan memang
rencananya saya akan meminang putri bapak...”. Luar biasaaa...seperti ada
kekuatan dari senyuman Yofita yang membuat aku berani mengatakan kata-kata
terakhir.
“Pada
dasarnya bapak tidak masalah nak, semuanya bapak sama ibu serahkan pada Yofita.
Tapi kita perlu diskusi dulu. Karena rumah tangga ini kan sekali seumur hidup.
Jadi, beri kesempatan kami dan Yofita untuk berdiskusi”. Tutur ibu Yofita.
Lembut.
“Baik
bu,,saya faham itu.” Malam yang semakin larut. Perbincangan hangat itu di meja
makan itu berakhir sudah. Yofita mengantarku kedepan pintu gerbang. Sambil
mengucapkan pesan...
“Jangan
gentar yah, kamu lelaki pilihanku dan kamu lelaki hebat” Ucapnya tersenyum. Aku
pamit dan beranjak pergi dari rumah Yofita kembali ke kosanku yang pengap dan
sempit. Perasaanku tak karuan selepas perbincangan itu. H2C. Harap-harap cemas.
Cemas diterima cemas ditolak. Jika diterima aku akan menjadi bagian dari
keluarga yang nyaris tak setara denganku. Cemas ditolak, karena hanya Yofita
gadis yang aku rasa layak menjadi ibu untuk keturunanku kelak.
Beberapa hari setelah perbincangan
di meja makan itu. Aku menghubungi Yofita. Nomornya tidak aktif, aku
menghubunginya via email, no respon.
Hingga aku hubungi Ari.
“Gue,
minta nomer HP Yofita yang lain punya?”. Tanyaku.
“Gak
ada, kenapa lo berantem sama doi?” tutur Ari
“Enggak,
elo tau keberadaan dia sekarang ri?”.
“Tepatnya
gue gak tau, tapi dia Cuma nulis di Blognya mau menenangkan diri di suatu
tempat. Coba aja elo hubungin si Dewi. kan dia temen deketnya”. Aku segera
menghubungi Dewi. Bertanya banyak hal kepada gadis itu. sampai Dewi
mengatakan...
“Maaf
mas Dewa sebenarnya aku gak berhak untuk bicara ini. Tapi aku harus jujur sama
mas Dewa setelah pertemuan antara orang tua mbk Yofita dan mas Dewa beberapa
hari yang lalu...mbk Yofita pernah menyampaikan kebimbangannya. Orang tua mbak
Yofita ternyata berat melepas mbak Yofita dengan mas Dewa. Lagi-lagi memang
status pendidikan dan pekerjaan yang di permasalahkan”.
“Hanya
itu Dew?”. Tanyaku
“Itu
intinya mas, sekarang Mbak Yofita sedang ada di puncak kalau mas mau nyusul aku
bisa mengantar.”.
“ok,
antar aku ke Yofita ya Dew”. Dewi mengiyakan persetujuanku. Aku bawa Dewi di
boncengan belakang menuju tempat yang ia infokan. Mengitari kebun teh yang
terhampar luas berbukit. Hingga sampai pada sebuah vila dengan ukuran mungil.
Aku menjejakan kakiku perlahan dan mengetuk daun pintu bercat coklat itu.
‘tok tok tok’
“Assalaamu’alaikum,,”.
“Wa’alaikum
salam”. Suara Yofita menjawab salam dari dalam. Tapi dia tidak langsung
membukanya.
“Kenapa
mas Dewa kemari?”. Tanyanya padaku.
“Dengan
Dewi mbak, Dewi juga yang memberi tau mas Dewa keberadaan mbak disini”. Dewi
menyerobot pertanyaan Yofita sebelum aku lebih dulu menjawabnya.
“Yof,
coba ceritakan semuanya pada ku, mungkin kita bisa saling membantu”
“Orang
tua ku tidak setuju hubungan kita berlanjut, mas”.
“Kenapa?
Apa karena status pendidikanku yang tak sepadan dengan mu?”.
“Salah
satunya itu, tapi ada hal lain yang membuat orang tuaku berat untuk merestui
kita”.
“Apa?”
“Aku
gak faham mas, dengan alasan kedua orang tua ku”.
“Lalu
bagaimana dengan nasib hubungan kita?”
“Kita
putus!”. Deg!. Aku seperti dijilat
oleh mata pisau yang ujungnya baru saja di asah.
“Apa
gak ada jalan lain?”
“Gak
ada, aku sudah memikirkannya matang-matang hingga hari ini. Bukan karena aku
menyia-nyiakanmu mas tapi ada orang lain yang lebih membutuhkan mu dibanding
aku. Anggap saja kita memang tidak berjodoh”.
“Orang
lain?maksudmu?”. Tanyaku menyelidik.
“Ia
orang lain yang lebih mencintaimu dibanding aku, aku terpaksa mengalah karena
memang orang tuaku tak merestui hubungan kita”.
“Siapa
orang itu, apa aku mengenalnya?”
“Ia
kau sangat mengenalnya, bahkan ia selalu ada untuk mu hingga saat ini. Ia ada
didekatmu mas...”. terpaksa aku menoleh ke arah Dewi disebelahku. Ia tertunduk.
Aku tak mengerti drama apa yang sedang aku jalani ini.
“Dia
Dewi mas, bukan aku. Dia lebih mencintaimu bahkan membutuhkanmu. Ibunya saat
ini sedang berada di RS dan menginginkan Dewi segera menikah tapi orang yang ia
cintai saat ini hanyalah Mas Dewa. Sedangkan aku? Orang tuaku berat merestui
hubungan kita...dan aku lebih memilih kehilangan dirimu dibanding kehilangan
orang tuaku. Maaf, Karena aku tak lagi mencintaimu. Mungkin ini jalan yang
terbaik, dan dewi lah yang terbaik untukmu bukan aku...”. Aku menatap nanar
daun pintu itu. dibaliknya ada seorang gadis yang sebelumnya amat aku cintai,
tapi detik ini semuanya nyaris berubah. Ternyata untuk menghancurkan sebuah
hubungan yang terjadi beberapa bulan terakhir hanya butuh waktu lima menit. Dan
kau berhasil telah menghancurkan itu semua. Membunuh cintamu sendiri,
membohongi hatimu demi orang lain. Begitupun kau bunuh cintaku dalam 5 menit