Jumat, 31 Mei 2013

KAU BUNUH CINTAKU DALAM 5 MENIT



“Mas, abis ini flying fox kan?” Tanya seorang perempuan  dengan jilbab pink siang itu
“Iya mbak” Jawabku datar tanpa melihat sedikitpun kearah nya
“Mas, maaf ya saya sedang bertanya pada anda, seharusnya lihatlah ke arah lawan bicara anda!”. Aku hanya tersenyum menyembunyikan wajahku. Memang inilah aku sesungguhnya. Aku tak terbiasa memandang wajah perempuan yang hendak bicara kepadaku. Selain muhrimku sendiri.
“Maaf mbak, kalau sikap saya tidak berkenan”. Ia menghilang dengan cepat dari peredaran mataku setelah mendapatkan sikap yang mungkin tak menyejukan.
              Hari yang sibuk. Ketua project MOS (Masa Orientasi Siswa ) yang lincah. tak cukup hanya sekedar menjadi leader yang mengeluarkan banyak perintah, tetapi gadis berjilbab pink itu terjun langsung ke arena untuk bergabung dengan team, bahkan hingga ke bagian security sekolah dan Office Boy. Gadis yang energik,  lincah, piawai dalam berkomunikasi, ‘care’ pada murid-murid, sikap ramah dan hangat juga di perlihatkan pada orang tua . Benar-benar dedikasi yang tinggi dalam pekerjaan.
              Acara hari itu pun usai sudah, gadis itu terlihat amat lelah dibalik jilbab pink yang ia kenakan. Namun masih saja ia setia melayani anak-anak beserta orang tua mereka dengan hangat.
 “Makan dulu aja yuk, jangan pulang dulu kan jauh ke Bogor. Lagi pula kita udah siapin makan siang buat temen-temen out bond juga” ucapnya pada Ari. Aku masih sibuk membereskan tambang yang digunakan.
            Ari memang terlihat akrab dengannya saat itu. Entah apa yang kalian bicarakan. Baru kali ini aku melihat Ari bisa tertawa lepas dengan seorang perempuan.  Gadis yang amat  piawai mengambil hati Ari sebagai clien hari itu. Ari sang ketua team out bond  saat itu. Seorang leader yang cerdas, penuh strategi dan kreatifitas. Lelaki yang amat mungkin dipuja banyak wanita. Fikirku.
Suatu sore di kosan.
“Dewa, dapet salam dari Dewi sama mbak Yofita” tutur Ari. Tangannya masih menggenggam ponsel.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh, Dewi?Yofita? siapa?lupa” jawabku datar
“itu loh, temen guwe yang guru di sekolah alam bintang kecil itu...kan waktu itu kita yang ngisi out bondnya. Mbak Yofita itu yang ketua teamnya, sementara Dewi itu yang penanggung jawab outbond hari itu” aku mencoba mengingat hari itu.
“Masih lupa wa? parah, cewek selucu Yofita bisa dilupain. Jangan-jangan elo gak normal yah?” Tutur Ari mengejek. Aku hanya tersenyum getir dengan ejekannya. Entah mengapa, jika ditengah-tengah pria seperti Ari, aku selalu merasa kalah dengannya. Hingga sejauh ini saja aku enggan membuka pertemanan khusus dengan seorang gadis. Jangankan kekasih, teman dekat pun tak ada. Bukan karena aku tak normal, bisa jadi sikap dinginku (kebanyakan orang bilang) yang terkadang membuat para gadis enggan menjalin pertemanan denganku.
            Fajar menggulung gelap, aktifitas pagi kota Bogor dan sekitarnya, nyayian burung-burung yang menari diatas perkebunan teh milik warga mengawal pagi ku di awal Februari 2012 ini. berkejaran dengan waktu yang tak kenal ampun. Sejenak ku parkir bebek hitamku di depan warung kopi untuk sekedar sarapan. Nasib bujangan semoga aku tak jadi bujang lapuk yang dimakan usia.
“Ok, terima kasih bu,,,” suara seorang gadis yang mungkin aku kenal. Aha! dia...dia...dia guru di sekolah alam itu. Entah dia Yofita ataukah Dewi. akhirnya memberanikan diri menghampirinya untuk menyapa. Hebat, seperti ada kekuatan yang datang tiba-tiba. Padahal jelas tak biasanya aku seperti ini.
“....Sepertinya pernah ketemu, dimana yah?” tanyaku memberanikan diri. Gadis itu menoleh takjub dengan senyum mengembang.
“Waaa... ketemu disini ya mas Dewa...” apa? Dia memanggil namaku, dia masih ingat denganku, aku saja lupa siapa dia.
“ Tapi nama mbak ini siapa yah??saya saja lupa”.
“Aku Yofita mas, guru di sekolah alam yang pernah dikunjungi team outbond nya mas Dewa dan Ari”
“Oh, iya iya...ingat, ingat..bla bla bla...” kami hanyut dalam percakapan seru pembuka hari di warung itu.           
            Hey gadis, setelah beberapa bulan lamanya aku baru melihatmu kembali. Kamu yang enerjik dan penuh dedikasi, kamu yang lucu, kamu yang manja. Hari ku spesial dengan hadirmu kini. Waktu bergulir menyenangkan, kalau saja aku bisa menuliskan nama mu pada langit biru, aku akan menulisnya dengan tinta emas agar orang tau berharganya kamu saat ini duhai Yofita.    
“Hari ini datang kerumah ya...orang tuaku mau bertemu kamu mas”. Apa??bertemu orang tua Yofita? Tidak tidak, aku tidak boleh mundur sejengkal pun. Karena dialah gadis yang selama ini aku cari.
“Hello, mas...hello...kok diem”
“Ok ok baik, nanti malam aku datang ke rumahmu yah”. Jawabku sekenanya.
“Ok. See you be there ...”.
            Malam sekitar pukul 19.00 WIB. Akhirnya aku beranikan diri menerima undangan orang tuamu. Ku kenakan Kemeja biru, dengan celana berwarna dongker senada. Deg deg-an. Sungguh!. Baru kali ini aku bertemu dengan orang tua Yofita. Entah akan dapet durian runtuh atau dilemper tanah liat dimukaku setelah malam ini. akhirnya ku jejakkan juga didepan pintu rumah Yofita, seorang wanita muda (nampaknya pembantu) mempersilahkan aku masuk. Tak sampai menunggu lama, Yofitapun keluar dengan baju biru pastel yang menyejukan.
“wah, sudah datang, baju kita senada lagi, kayaknya tema malam ini biru.”
“kamu cantik hari ini”. Spontan aku merayu gadis dihadapanku ini. 
“amaca?” Jawabnya meledek
“Udah ditunggu ibu sama ayah tuh di ruang makan. Yuk!”.  Ajaknya. Aku mengikutinya hingga kedepan meja makan yangn terhampar berbagai hidangan lezat.
“Silahkan duduk, nak!” Ibu mempersilahkan aku duduk didepan hamparan hidangan-hidangan lezat ini.
“Ayo di sendok nak Dewa, lauknya...” tutur ibu Yofita.
“Mas Dewa malu-malu nih bu...padahal kalau lagi makan banyak...” lagi-lagi Yofita membawa keceriaan dimeja makan ini. Gelak tawa membahana. Senyuman berwibawa ayah Yofita bercampur dengan tawa candaan Yofita kepada kedua orang tuanya. Hingga membuat keduanya tersipu malu memerah. Gambaran keluarga yang harmonis. Dengan santai hidangan satu persatu habis tak bersisa. Saat yang menegangkan...
“Pasti akan ada beberapa pertanyaan”. Fikirku saat itu.
“Kamu ngekos disini nak Dewa??
“Iya bu, kebetulan saya juga bekerja di Bogor”. Jawabku singkat.
“...Bekerja dimana sekarang?”.Giliran si bapak bertanya kepadaku. Yofita sibuk membereskan meja makan.
“Sekarang di pabrik spare part motor pak”.
“Nama perusahaannya?...”. Bapak kembali bertanya. Kali ini Yofita ikut nimbrung diantara percakapan hangat.
“Mas Dewa ini di Yanchi Motor pak, dia udah mau diangkat jadi manager loh. Hebat yah”. Lagi-lagi Yofita kembali menguatkan aku saat terpojok dalam pekerjaan.
“Wah bagus dong, memangnya dahulu kuliah dimana nak Dewa?” Ibu menanyakan kembali. Kali ini entah Yofita akan bicara apa. Dia hanya melirik tersenyum ke arahku. Membri kekuatan.
“Saya belum sempat kuliah bu, saya hanya lulusan STM”. Entah apa yang ada difikiran kedua orang tuanya mendengar aku hanya lulusan STM saja. sedangkan Yofita S2 di kampus ternama. Suasana hening. Saling pandang. Dan Yofita kembali mengangkat bicara.
“Rencananya tahun depan mas Dewa akan meneruskan kuliah bu...pastinya setelah menjadi keluarga bersama aku”. Jawab Yofita sumringah sambil melirik kearahku.
“Insya Allah, memang rencananya begitu...”. tuturku mencoba meyakinkan
“apa gak sebaiknya kamu nerusin kuliah dulu baru menikah anak muda?”. Tanya sang bapak dengan suara berat.
“Yah, saya rasa itu bisa diatur pak...insya Allah jika bapak berkenan memang rencananya saya akan meminang putri bapak...”. Luar biasaaa...seperti ada kekuatan dari senyuman Yofita yang membuat aku berani mengatakan kata-kata terakhir.
“Pada dasarnya bapak tidak masalah nak, semuanya bapak sama ibu serahkan pada Yofita. Tapi kita perlu diskusi dulu. Karena rumah tangga ini kan sekali seumur hidup. Jadi, beri kesempatan kami dan Yofita untuk berdiskusi”. Tutur ibu Yofita. Lembut.
“Baik bu,,saya faham itu.” Malam yang semakin larut. Perbincangan hangat itu di meja makan itu berakhir sudah. Yofita mengantarku kedepan pintu gerbang. Sambil mengucapkan pesan...
“Jangan gentar yah, kamu lelaki pilihanku dan kamu lelaki hebat” Ucapnya tersenyum. Aku pamit dan beranjak pergi dari rumah Yofita kembali ke kosanku yang pengap dan sempit. Perasaanku tak karuan selepas perbincangan itu. H2C. Harap-harap cemas. Cemas diterima cemas ditolak. Jika diterima aku akan menjadi bagian dari keluarga yang nyaris tak setara denganku. Cemas ditolak, karena hanya Yofita gadis yang aku rasa layak menjadi ibu untuk keturunanku kelak.
            Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu. Aku menghubungi Yofita. Nomornya tidak aktif, aku menghubunginya via email, no respon. Hingga aku hubungi Ari.
“Gue, minta nomer HP Yofita yang lain punya?”. Tanyaku.
“Gak ada, kenapa lo berantem sama doi?” tutur Ari
“Enggak, elo tau keberadaan dia sekarang ri?”.
“Tepatnya gue gak tau, tapi dia Cuma nulis di Blognya mau menenangkan diri di suatu tempat. Coba aja elo hubungin si Dewi. kan dia temen deketnya”. Aku segera menghubungi Dewi. Bertanya banyak hal kepada gadis itu. sampai Dewi mengatakan...
“Maaf mas Dewa sebenarnya aku gak berhak untuk bicara ini. Tapi aku harus jujur sama mas Dewa setelah pertemuan antara orang tua mbk Yofita dan mas Dewa beberapa hari yang lalu...mbk Yofita pernah menyampaikan kebimbangannya. Orang tua mbak Yofita ternyata berat melepas mbak Yofita dengan mas Dewa. Lagi-lagi memang status pendidikan dan pekerjaan yang di permasalahkan”.
“Hanya itu Dew?”. Tanyaku
“Itu intinya mas, sekarang Mbak Yofita sedang ada di puncak kalau mas mau nyusul aku bisa mengantar.”.
“ok, antar aku ke Yofita ya Dew”. Dewi mengiyakan persetujuanku. Aku bawa Dewi di boncengan belakang menuju tempat yang ia infokan. Mengitari kebun teh yang terhampar luas berbukit. Hingga sampai pada sebuah vila dengan ukuran mungil. Aku menjejakan kakiku perlahan dan mengetuk daun pintu bercat coklat itu.
tok tok tok’
“Assalaamu’alaikum,,”.
“Wa’alaikum salam”. Suara Yofita menjawab salam dari dalam. Tapi dia tidak langsung membukanya.
“Kenapa mas Dewa kemari?”. Tanyanya padaku.
“Dengan Dewi mbak, Dewi juga yang memberi tau mas Dewa keberadaan mbak disini”. Dewi menyerobot pertanyaan Yofita sebelum aku lebih dulu menjawabnya.
“Yof, coba ceritakan semuanya pada ku, mungkin kita bisa saling membantu”
“Orang tua ku tidak setuju hubungan kita berlanjut, mas”.
“Kenapa? Apa karena status pendidikanku yang tak sepadan dengan mu?”.
“Salah satunya itu, tapi ada hal lain yang membuat orang tuaku berat untuk merestui kita”.
“Apa?”
“Aku gak faham mas, dengan alasan kedua orang tua ku”.
“Lalu bagaimana dengan nasib hubungan kita?”
“Kita putus!”. Deg!. Aku seperti dijilat oleh mata pisau yang ujungnya baru saja di asah.
“Apa gak ada jalan lain?”
“Gak ada, aku sudah memikirkannya matang-matang hingga hari ini. Bukan karena aku menyia-nyiakanmu mas tapi ada orang lain yang lebih membutuhkan mu dibanding aku. Anggap saja kita memang tidak berjodoh”.
“Orang lain?maksudmu?”. Tanyaku menyelidik.
“Ia orang lain yang lebih mencintaimu dibanding aku, aku terpaksa mengalah karena memang orang tuaku tak merestui hubungan kita”.
“Siapa orang itu, apa aku mengenalnya?”
“Ia kau sangat mengenalnya, bahkan ia selalu ada untuk mu hingga saat ini. Ia ada didekatmu mas...”. terpaksa aku menoleh ke arah Dewi disebelahku. Ia tertunduk. Aku tak mengerti drama apa yang sedang aku jalani ini.
“Dia Dewi mas, bukan aku. Dia lebih mencintaimu bahkan membutuhkanmu. Ibunya saat ini sedang berada di RS dan menginginkan Dewi segera menikah tapi orang yang ia cintai saat ini hanyalah Mas Dewa. Sedangkan aku? Orang tuaku berat merestui hubungan kita...dan aku lebih memilih kehilangan dirimu dibanding kehilangan orang tuaku. Maaf, Karena aku tak lagi mencintaimu. Mungkin ini jalan yang terbaik, dan dewi lah yang terbaik untukmu bukan aku...”. Aku menatap nanar daun pintu itu. dibaliknya ada seorang gadis yang sebelumnya amat aku cintai, tapi detik ini semuanya nyaris berubah. Ternyata untuk menghancurkan sebuah hubungan yang terjadi beberapa bulan terakhir hanya butuh waktu lima menit. Dan kau berhasil telah menghancurkan itu semua. Membunuh cintamu sendiri, membohongi hatimu demi orang lain. Begitupun kau bunuh cintaku dalam 5 menit

Jumat, 10 Mei 2013

Dia...



            Hey, Vi...lagi dimana? Sudah makan? Nanti aku telpon yah!.” SMS text dari nomer Arfan. Pria yang baru saja ia kenal saat sweet kopdar pertama setelah lama berkenalan di dunia maya. Revi pun senyam senyum sendirian mendapati perhatian dari nomor tersebut. Maklum, baru kali ini ada seorang lelaki yang berani terang-terangan mendekatinya. Bahkan terus terang mengutarakan cintanya. Ia buru-buru membalas SMS tersebut dengan hati riang gembira.
“Belum nih, baru saja pulang...ya udah saya tunggu telpon kamu yah Fan”. Reply to Arfan.
Dengan perasaan senang nge-pink bersemu di pipinya, Revi lekas meletakan tas dan perlengkapannya di rak yang tersedia lalu melanjutkan aktivitas malamnya di depan laptop sebagai seorang freelance editor.
Ah! cinta seakan membutakan segalanya, ia juga merubah semuanya. Beberapa malam lalu sepulangnya Arfan dari Makasar, Arfan berjanji menelfon Revi. Tuturnya ada hal penting yang ingin ditanyakan kepada Revi malam itu  tapi ia tak mau sebatas pesan di black berry saja. Arfan akan menelfonnya segera setelah ia sampai di rumah. Namun, hingga hari ini Arfan tak kunjung menelfonnya. Arfan hanya muncul dalam pesan-pesan black berry seperti biasanya. Sedangkan Revi hanya bisa menunggu kejutan apa yang akan diberikan Arfan kepadanya lewat telfon. Revi berharap “Will you merry me?” akan keluar dari mulut Arfan. Maka dia tidak gegabah untuk menelfon Arfan terlebih dahulu, karena sepengetahuannya kebanyakan lelaki baik-baik tak suka dengan perempuan agresif. Menurutnya Arfan adalah pemuda yang baik, maka ia pun bersikap baik pada Arfan. 
“Katanya mau nelfon and nanya sesuatu Fan?.” Tanya Revi  lewat pesan black berry nya.
“Iya Rev, maaf yah sayang...masih banyak kesibukan jadi belum sempet nelfon kamu. Kamu baik baik yah... nanti aku belikan buku yang kamu cari tempo hari”.
 “Owhh...baiklah”. Revi menjawab sekenanya. Entah sudah berapa kali Arfan berjanji membelikan buku yang ia cari. Bahkan hingga ia putuskan mencari sendiri Arfan pun melarang dengan dalih yang sama.
            Senja yang bergumul mesra dengan awan berbalut lembayung sore.tanpa ragu lagi Revi mempersilahkan Arfan menjadi bagian dari kisah hidupnya. Arfan yang menghilang kini kembali semakin mendekat dan mendekap erat hari-harinya. Hari yang indah, seindah perasaannya kini setelah pertunangannya selesai kemarin. Kata-kata “Will you marry me?” Yang dinanti telah keluar dari bibir Arfan mengalir ringan hingga manancap ke dalam jiwa Revi. Terdiam sejenak dengan senyuman indah menyambar “...Yes, I will”. Jawaban Revi tanpa ragu. Pertunangan yang syahdu nan indah, sayangnya Arfan tak membawa utuh keluarganya, hanya kakak ipar, dan beberapa saudaranya yang ia panggil dengan sebutan mamang. Revi siap membangun kehidupan yang indah bersama Arfan, pemuda yang baru saja ia kenal dan baru saja resmi menjadi tunanganya. 
Fly over T.B Simatupang menjelang maghrib. Telfon Revi berdering. Nomor Arimbi tertulis dilayar ponsel.
“Assalaamu’alaikum Rev?...”
“Wa’alikum salam Bi..”
“Kamu sehat kan Rev? Sibuk banget nih sampai jarang nongol di group Whats App”.
“Iya nih, banyak editan yang harus dikerjakan Bi.. Anyway ada apa yah Bii? Kok tumben hubungin aku?” tanya Revi menyelidik.
“Aku cuma mau tanya, memang kamu jadian udah lama dengan Arfan?”
“Iya, kenapa?”
“Kamu yakin laki-laki yang kamu pacarin itu Arfan Galih?”
“Betul. Tapi ini kenapa dulu nih, kok tiba-tiba saja bertanya demikian Bi? Kamu kenal yah dengan Arfan Galih?”
“Gak kenal banget sih Cuma dia cukup famous yah! Dikalangan wanita”.
“Masa sih, tapi memang sih aku liat di akunnya dia banyak berinteraksi dengan para wanita itu pun aku pernah tanyakan, dan Arfan menjawab mereka itu clien-nya semua”.
“Yakin?” Tanya Arimbi dengan nada penekanan.
“Iya, bahkan kita sudah tunangan.”
“Apa!!? Tunangan? Yang bener?” Arimbi semakin kaget.
“Iya, minggu lalu keluarganya Arfan datang kerumah dan melamarku”.
“Oh, baiklah tadinya saya sekedar mau kasih info saja Rev...”
“Info tentang apa? Tentang Arfan? Silahkan saja “.
“Hmmm...tidak tidak Info ini bukan buat kamu Rev, saya salah orang ternyata...”
“Maksud kamu?”
“Ya sudah, abaikan saja. Oke kapan-kapan kita sambung lagi ya Rev. Assalamu’alaikum ...”
“Wa’alaikum salam”. Jawab Revi singkat.
Revi Semakin bingung dengan maksud Arimbi tadi di telefon. Mengapa Arimbi begitu terkejut dengan pertunangan dirinya dan Arfan? Lalu mengapa ada yang mengganjal dengan obrolannya yang mendadak singkat tak seperti biasa. Ah, peduli apa Arimbi dengan dirinya. Selama ini Arimbi hanya sekedar teman dalam senang saja. Saat terpuruk, ketika Reza kakak Revi meninggal, kemana perginya Arimbi? Sedikitpun ia tak ada untuk sekedar manyeka air matanya.
            Arfan, sudah tiga hari kau tak ada kabar. Telponmu tiba-tiba off  tak bisa dihubungi. Status Black Berry berganti disply name. Ketika ditanya kepada si pemilik PIN yang dahulu bernama Arfan, pemegang PIN yang baru hanya berkata...
“BB ini sudah berpindah tangan”. Ketika ditanya kembali siapa pemiliknya dahulu, hanya ada jawaban dia membelinya di counter ITC Fatmawati.
“CETARRR!!!”. Arfan menghilang sudah tiga hari. Tak ada kabar, tak ada status update dari akun face book atau twitternya. Tanpa berfikir panjang Revi bersandang ke kediaman Arfan dibilangan Cianjur kota. Honda Jazz yang ia kendarai hadiah dari Arfan tampak terparkir di depan gerbang rumah berhalaman luas tersebut.
“Permisi Bu, saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini”. Tanya Revi pada ibu-ibu tua berselendang hijau didepannya. Wajahnya sudah banyak kerutan namun masih nampak cantik pada usianya yang tak lagi muda.
“Iya, saya sendiri pemilik rumah ini”.
“Loh, tapi yang saya tau pemilik rumah ini bernama Bapak Jaelani. Seorang pengusaha teh di Cianjur dan memiliki adik ipar bernama Arfan Seta Galih yang bekerja dibidang Marketing”. Tutur Revi panjang lebar.
“Benar sekali nak, ini kediaman bapak Jaelani, pekenalkan saya istrinya bapak Jaelani pemilik kebun teh. Tapi suami saya sudah almarhum 5 tahun yang lalu dan saya gak punya adik bernama Arfan Galih”.
“Yang bener bu?? Dulu saya beberapa kali ke rumah ini, kurang lebih 1 bulan yang lalu bersama Arfan...”. Cerita Revi.
“Sebulan yang lalu memang rumah ini masih saya sewakan sebagai villa. Tapi semenjak anak-anak saya menikah saya pulang ke Indonesia. Ketika rumah ini saya tinggalkan, rumah ini dijaga oleh Pak Parmin...” Cerita ibu yang tak menyebutkan namanya itu panjang lebar. Mata Revi melihat sekeliling isi teras hingga tak sengaja mata Revi tertuju pada satu foto yang berada di ruang tamu rumah tersebut.
“Siapa orang di foto itu bu?”. Pandangan Revi mengarah ke sebuah foto yang ia lihat mendadak.
“Itu foto keluarga saya, itu almarhum suami saya yang memakai baju koko putih, di depan nya Ari anak saya saat berumur 12 tahun, Reno kakaknya dan almarhum Bayu anak saya yang pertama...”. Ibu itu seraya meneteskan air mata saat bercerita tentang keluarganya terutama ketika menyebut nama almarhum Bayu anaknya.
“Almarhum??” Revi bertanya dalam hati. Tapi tak sempat ia bertanya, ibu tersebut sudah melanjutkan ceritanya.
“Anak saya meninggal karena kecelakaan mobil bersama almarhum suami saya, Saat itu mereka akan pergi ke Jakarta untuk menangani kasus penipuan surat tanah yang dialami oleh suami saya. kebetulan anak saya berprofesi sebagai polisi intel dan menangani kasus yang  sedang dialami oleh ayahnya...”.
“Lalu siapa foto di belakang almarhum suami ibu itu?”
“Itu adalah Mang Jeje. Dia dahulu penjaga vila ini dan sudah lama berhenti”.
‘DEG!!!’
“Mang Jeje? Bukan kah itu kakak ipar Arfan yang dia akui bernama pak Jaelani??”. Lalu siapa sebenarnya Arfan?” Pertanyaan itu masih menjadi misterius dibenak Revi.
“Maaf, saya memotong pembicaraan ibu, boleh saya tau dimana pak Parmin penjaga rumah ibu dulu berada?”.Tanya Revi kembali menyelidik.
“Di belakang kebun ini ada pagar bambu yang di depannya pohon pepaya. Disitu rumah pak Parmin”. Tunjuk ibu tersebut kepada Revi.
“Baik Bu, saya pamit akan ke rumah pak Parmin dulu. Terima kasih atas infonya” Revi berpamitan untuk bergegas ke rumah Pak Parmin.
            Rumah sederhana dengan pekarangan kecil yang rapi.
“Permisi...bisa saya bertemu dengan pak Parmin?”.
“Maaf, mbak ini siapa??”. Tanya seorang gadis yang usianya tak jauh dari Revi.
“Kenalkan, saya Revi Andrea. Saya dari Jakarta sengaja kesini ingin bersilaturahmi dengan pak Parmin dan keluarganya”. Ucap Revi beralasan
“Saya anaknya pak Parmin, abah saya sudah meninggal dua minggu yang lalu karena sakit. Kata dokter ada indikasi keracunan, tapi entahlah saya gak peduli tentang itu semua. Atuh saya mah orang kecil, gak tau masalah itu...”
“SUDAH MENINGGAL!!!??”. Semakin rumit, pak Jaelani yang diakui kakak ipar Arfan pun ternyata mang Jeje si penjaga villa yang sudah lama berhenti bekerja. Kemudian digantikan oleh pak Parmin. Kini pak Parmin telah lebih dulu dipanggil oleh yang kuasa. Sementara Arfan raib hingga hari ini tak ada kabar.
            Revi pergi dengan segudang tanya yang berloncatan di fikirannya. Misteri ini tak mungkin ia pecahkan sendiri, apa perlu ia meminta bantuan orang lain untuk masalah ini? “Ah, tidak tidak sepertinya ini hanya masalah sepele tak perlu ia melibatkan orang lain. Lagi pula mengapa aku harus repot dengan urusan orang lain, aku hanya butuh info tentang Arfan”. Pikirnya saat itu. Revi lantas menghubungi Arimbi, sepertinya ada hal yang disembunyikan oleh Arimbi darinya tantang Arfan.
‘TUUUUT....TUUUUT...’
“Hallo Rev, ada yang bisa aku bantu?”, tanya Arimbi menawarkan diri.
“Bi, coba kamu jelaskan siapa sebenarnya Arfan? Kemarin, seakan ada yang menggantung dari ...”
“Loh, bukannya kamu tunangannya? Kamu yang lebih faham tentang Arfan, bukan aku vi”. Kelakar Arimbi menyerobot tak mau kalah. Revi belum menyelesaikan pembicaraannya.
“Sepertinya Arfan membohongi ku Bi...”
“Maksud mu?” tanya Arimbi pada gadis berkaca mata tersebut. Revi menceritakan semua perjalanannya ke Cianjur, tentang pak Jaelani, rumah dengan halaman luas yang diakui sebagai rumah Arfan, hingga pak Parmin yang menjadi kunci dari mata misteri ini yang ternyata sudah Almarhum.
“Coba kamu ceck, sahabat karib Arfan di nomor ini, namanya Budi”. Arimbi mengirimkan nomor ponsel atas nama Budi. Segera Revi menghubungi nomor tersebut. Benar sekali nama yang berada di nomor tersebut benar-benar bernama budi sahabat Arfan semasa kuliah dulu.
“APA???!!!! MEMBAWA LARI UANG 150 JUTA???” Kepala Revi semakin mendidih. Tak ia sangka tunangannya yang sangat di kasihi saat ini adalah pencuri sekaligus penipu yang amat lihai geraknya.
“Bukan hanya itu, Arfan dan kakaknya juga memalsukan sejumlah dokument penting milik pak Jaelani pengusaha perkebunan teh di Bogor. Kemudian mang Jeje kakaknya berhasil mensabotase mobil yang ditumpangi oleh Bayu dan pak Jaelani. mereka berkomplot dengan para pembunuh bayaran untuk berusaha meracuni Parmin penjaga villa di Cianjur tempat kakaknya bekerja. Karena hanya Parmin yang menjadi saksi kejahatan mereka...”.
“Lalu, honda jazz yang ia berikan padaku ini???”
“Coba ceck lagi, dari kapan Arfan membelikan mobil itu? Jangan-jangan anda tertipu juga, bukan anda dibelikan tapi justru suruh membayar tagihan setiap bulannya?” Ucap Budi lewat ponselnya. Revi segera memeriksa surat-surat resmi pembelian mobil dua minggu yang lalu, memeriksa ketempat pertama kali Arfan mengajaknya untuk membeli mobil jenis ini. Betul sekali yang dikatakan Budi, ia tertipu!! Revi tertipu oleh tunangannya sendiri. Revi semakin marah dalam kondisi kalap yang tak karuan, ingin menangis, ingin teriak, ingin menjambak, memukul dan ...
‘AGKHHHH...!!!!’ Revi menggebrak apa saja yang ada di depannya. Air matanya mengalir sejadinya. Merasa ditipu, dibohongi.
“TERNYATA DIA PENIPU!!!” Jeritnya dalam tangis yang meradang. Ia lelah dan membanting dirinya di tempat tidur, memejamkan matanya untuk sejenak mengistirahatkan jiwanya yang luka dan terlanjur sakit dengan masalah Arfan. Hening.
***
 “Selamat pagi cinta...sudah bangun kah?”. Suara dari dalam ponsel menyaring merdu membangunkan gadis berkaca mata itu.
“Dimana kamu sekarang? Jangan panggil aku sayang. Kamu penipu!! Kita putus!!” bentak  Revi dengan nada kecewa.
“Aku menunggumu di NERAKA!!!...HAA...HAA...HAA...HAA...”. Revi terbangun melompat dari tidurnya. Ngeri. Ternyata hanya mimpi buruk. Dilihatnya jam dinding menunjukan pukul 05.30 pagi. Revi menyalakan televisi flat yang terpampang di dinding kamarnya. Ada berita tentang Arfan Seta Galih pemuda berusia 27 tahun yang mengaku seorang marketing otomotif telah lama menjalankan aksi tipu dayanya kini tertangkap dan meringkuk di jeruji besi... 
“Terima kasih telah mengingatkanku tentang cinta, dan tentang luka. Ternyata selama ini aku salah mencintai seorang pesakitan sepertimu, hingga membuat aku semakin sakit jiwa. Dan mulai saat ini, kita putus untuk selamanya...”. Air matanya mengalir mengenang kenangan tentang Arfan.