Butiran
air bening yang jatuh bercerita untuk
sore yang berpelangi. Saat lembayung yang mengusir siang mulai memerah, aku
hadapkan wajahku pada sudut jendela yang masih basah karena hujan. Hujan yang
membawa kisahmu hadir dalam ingatanku untuk kembali merajut mimpi disini. kaki
telanjang tanpa alas beberapa tahun lalu yang terus berlarian di jalanan yang
basah, payung warna warni dan awan mendung yang kini berubah menjadi atap
langit bermatahari. Aku tersenyum ketika
seorang bocah menawariku ojek payung di suatu sore sekembaliku dari sekolah
“payung mas? “ tanyanya
kepadaku sambil menyodorkan aku sebuah payung berwarna merah. Aku meraih payung
dari tangan kecilnya yang kurus. Lagi-lagi aku teringat momment ini. entah apa
kamu masih mengingatnya? Saat aku temukan tubuhmu menggigil kedinginan di bawah
rinai hujan, dan saat itu pula aku mulai mengenalmu lebih dari yang kau kira
beberapa tahun yang lalu
***
11 Januari 2001
“payung mas” . tanyamu
saat itu. Aku meraih payung dari tanganmu. Sementara kau biarkan tubuhmu basah
terguyur derasnya hujan. Berlarian.
“terima kasih yah” ku
kembalikan payung merah milikmu sambil kukeluarkan selembar sepuluh ribuan dari
kantong celana SMA ku.
“wah, ada uang pas saja
mas?” tanyamu kembali.
“sudah ambilah buat
jajan”. Aku melihat senyumanmu yang riang sore itu. Sore dengan derasnya hujan
yang mengguyur Jalan Nusantara Depok 1. Kau berlari berhamburan bersama
teman-teman seprofesimu sebagai seorang ojek payung.
Hari-hari selanjutnya aku semakin sering melihatmu
berdiri didepan gerbang sekolahku. Entah apa karena aku atau karena ada hal
lain. Pastinya saat hujan datang aku selalu melihatmu dari kelasku yang berada
di lantai 3. Sering kali kau lambaikan tanganmu dengan mengukir senyuman
diwajah polosmu. Berupaya agar aku mendekatimu, meraih payungmu dan memberikan
uang recehan kepadamu. Lalu kau tinggalkan jejak penasaran yang terus menerus
tumbuh dalam diriku.
“payung kak?” tanya
seorang anak kecil disebelahmu.
“gak usah, kita main
hujan-hujanan aja sekalian dengan kakakmu bagaimana?” tanyaku kembali
menawarkan. Kau menganggukan kepalamu penuh semangat tanda setuju. Begitupula anak
kecil disebelahmu yang ternyata dialah adikmu. Kita berlarian dibawah derasnya
hujan. Tanpa payung yang melindungi diri kita, tanpa canggung juga kau
menceritakan bahagiamu saat hujan datang. Aku semakin kagum denganmu walau
hingga saat itu aku belum tau namamu.
Aku memberanikan diri mengajakmu makan bakso di kedai
dekat sekolah., tempat favorite aku dan Jodi sahabatku mangkal sebelum Jodi
pindah sekolah. awalnya kau terlihat canggung, walau aku tau sebenarnya kau
menerima tawaranku. Hingga akhirnya kau mengiyakan juga untuk makan bakso
denganku sore itu
“ oh iya, nama loe sebenarnya
siapa sih? Kok teman-teman loe manggil nya cil ” tanyaku memberanikan diri.
“kenalkan namaku riang.
kepanjangannya riaaaaaaaaaang hahahaha” jawabmu sambil tertawa.
“Nama yang cantik seperti pemilik namanya”.
Bisikku dalam hati.
“aku dipanggil cil,
karena tubuhku kecil padahal usiaku tidak seperti yang mereka kira”
“hmm” aku mendengar
ceritanya panjang lebar mulai dari usianya yang ternyata sama denganku hanya beda
2 bulan saja aku lebih tua darinya. Tempat tinggalnya kini, dan mengapa ia
tidak bersekolah saat ini. aku yakin, sebenarnya Riang gadis yang riang seperti
namanya tapi dia juga gadis yang cerdas, hanya kondisi saja yang kali ini belum
berpihak padanya.
“berarti bulan depan
usia loe tepat 17 tahun?” tanyaku pada Riang
“yup, betul banget”
“ya udah loe manggil
guwe Rizal aja, gak usah pake kakak, guwe juga seumuran sama loe”
“oke lah Rizal, namamu bagus”.
Serunya memujiku, ia melemparkan senyumannya kembali. Senyuman yang hingga saat
ini tak pernah aku lupa.
27 Januari 2001
Hujan kembali membasahi jalanan depan sekolah, semua
terguyur merata. Awan mendung menyelimuti jalan Nusantara dan sekitarnya.
Inilah saat yang paling aku tunggu, saat hujan datang. Saat aku kembali bertemu
keceriaan dari seorang Riang yang gembira saat hujan turun. Aku tengah terbiasa
dengan kehadiranmu di gerbang sekolah ini. seakan kau menjemputku bahkan bukan
hanya diriku tapi hatiku yang ternyata
tersangkut pada payung merahmu.
“Rizal...!!!” serumu
setengah berteriak sambil melambaikan tangan. Tak banyak bicara aku langsung
turun kebawah menghampirimu.
“main hujan-hujanan
lagi??” tanyaku semangat
“ayo” sambutmu dengan
menarik tanganku menerobos hujan sore itu. Berbasah-basahan. Berlarian dibawah derasnya
hujan yang membasahi Depok dan sekitarnya. Tak peduli dingin yang mendera kala
itu. Entah mengapa aku sangat bahagia melihat lukisan senyum diwajah manismu
Riang. serasa cerita dalam fil-film bollywood yang bermain dibawah rinai hujan.
Walau aku tau tas dan buku sekolahku basah semuanya aku tak peduli. Hingga saat
itu pun tiba
“Rizaallll awas!!!!”
teriakmu disore itu untuk terakhir kali dibawah guyuran hujan
“braakkkk!!”
‘Gelap’
***
30 Januari 2001
Entah
dimana aku kini, sudah mati, atau setengah mati atau aku hidup dialam lain, apakah
ini alam akhirat yang sering aku pelajari dalam pelajaran agama islam di
sekolah? tidak, tidak tidak mungkin aku mati sedini ini. lalu ruang serba putih
ini apa?. Aroma obat-obatan menyeruak masuk kedalam rongga hidungku, kepalaku
terasa berat dan amat sakit. Apa yang terjadi?. Kakiku? Kakiku juga terasa
nyeri dan sulit digerakan. Ya Allah, entah berapa lama aku tak memanggil namaMu.
Seingat aku waktu kecil dulu aku sering menyebut namaMu saat shalat dimasjid
hingga aku beranjak SMA dan tak tau kemana lagi Allahku berada. Apa aku terlalu
lama meninggalkanMu sehingga KAU juga meninggalkanku? Saat kepayahanku seperti
ini. aku baru teringat lama sekali tak membasuh wajahku dengan air-air yang
disucikan untuk berwudhu. Pandanganku buram saat ini. tak jelas, semua yang ada
seperti fatamorgana saja. Entah siapakah ini yang aku lihat. Tak jelas.
Kupejamkan mataku kembali dan kedua kelopak mataku tertutup lagi. Aku biarkan
indera pendengaranku yang saat ini bekerja. Semoga saja dapat maksimal untuk
waktu yang tak menguntungkan ini
“Rizal” terdengar suara
berbisik ditelingaku, suara yang sejujurnya pernah kukenal. Entah kapan
“masih berani kamu
kesini!?” sedetik kemudian suara mamah muncul setengah meninggi. Aku masih
memejamkan mata, berusaha merekam semua yang terjadi diruangan penuh aroma obat
ini.
“maafkan saya tante,
tolong izinkan saya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya dan melihat
keadaan Rizal untuk sekali saja. Setelah itu saya akan pergi menjauh dari
kehidupan Rizal. Saya mohon tante, saya mohon” pinta seorang gadis yang lebih
dahulu menyapaku tadi. Aku berusaha mengingat kembali suara itu sebelum hari
ini. tapi, semakin aku mengingatnya semakin terasa nyeri dikepalaku. Aku tak
mau ambil resiko lebih besar. Aku ingin hidup lebih lama lagi.
“gak ada lagi yang bisa
kamu jelaskan, semua sudah jelas, kalau sore itu kamu gak mengajak Rizal main
hujan-hujanan dan kecelakaan itu gak akan pernah terjadi” suara mamah meradang
ada getaran seperti tangis yang tertahan.
“saya mohon tante,
kalau tante gak mau denger penjelasan saya. biarlah waktu yang menjelaskan
semuanya dan untuk terakhir kalinya izinkan saya melihatnya setelah itu saya
akan pergi menjauh”
‘baiklah, setelah itu
keluar kamu dari sini dan jangan mengganggu Rizal lagi” suara mamah mulai
sedikit tenang. Terkadang mamah memang bijak, walaupun diwaktu-waktu yang sulit
seperti saat ini. ia mudah sekali kalah dengan situasi. Kalap dan terkadang tak
terkontrol emosinya, apa mungkin ini imbas dari kasih sayangnya yang
berlebiihan kepadaku? Entahlah.
“Rizal, Riang pamit.
Cepet sembuh yah, jangan lupa shalat” kalimat terakhir yang aku ingat ‘jangan
lupa shalat’ sungguh menggetarkan. Aku berusaha membuka mataku dan melihat
malaikat sejenis apa yang membisikan ini kepadaku. Ketika ia menyebutkan
namanya Riang, seakan sangat akrab dengan nama ini. entah dimana. Namun, lagi
lagi hanya pandangan buyar yang aku dapati dalam pandangan mataku. Aku berusaha
membuka mata lebih lebar namun terlambat ia tengah menjauh. Mamah lebih dulu
mengusirnya dari ruangan ini.
Entah
sudah berapa lama aku tak mendengar orang dekatku mengajakku untuk shalat.
Termasuk mamahku pun tak pernah memerintahkan hal ini kepadaku. Aku hanya tau
perintah tersebut dari guru agama di sekolah. Payahnya aku tak pernah suka
dengan pelajaran Agama tersebut. aku tak menemukan apa yang aku dapatkan dari
pelajaran tersebut. hanya ceramah dan ceramah yang memekakan telinga padahal
apa yang dikhutbahkan guru agamaku disekolah berbeda sekali seperti apa yang ia
lakukan untuk dirinya sendiri. Munafik.
Hari-hari
membosanka aku jalani diruangan ini. ruangan VVIP dengan segala perlengkapan
yang serba ada. Namun tetap saja aku tak menikmatinya. Tubuhku lemah diatas tempat
tidur ini dengan selang infus dan perban yang masih setia menemani. Kakikupun
masih sulit digerakan.
“ayo zal, kamu pasti
sembuh dan pulih seperti sedia kala” ucapku lirih dalam hati. Menyemangati diriku
sendiri
Aku seperti tak punya daya apa-apa. Jangankan untuk
mengejar malaikat bernama Riang itu, berdiri saja aku memerlukan bantuan orang
lain. Aku kepayahan dalam ketidak berdayaanku. Seperti mayat hidup yang
menunggu ajal. Hidupku kelam saat ini atau mungkin untuk selamanya. Emosiku
semakin tidak stabil. Aku menjadi temprament. Terlebih lagi ketika dokter
memvonis aku lumpuh. Masa depanku suram.
Mengapa tak KAU ambil saja nyawaku tuhan. Agar aku tak menderita didunia? Apa
ini hukuman dariMU karena aku terlalu lama meninggalkanMu?
Aku tau betapa
hancurnya mamah ketika tau aku lumpuh. Aku anak satu-satunya yang kelak akan
menjadi kepala keluarga, yang kelak akan menjaga mamahku sendiri. Tapi tuhan
berkata lain, walaupun aku menggugat hingga ke depan tahtanya, tetap saja
takdir ini sudah tertulis dan cerita ini akan aku alami dalam lembar kehidupanku.
2 minggu sudah aku di sini. Menunggu kepastian pengobatan
berikutnya. Aku ingin kembali keduniaku sebenarnya, walaupun harapan kembali
kepada kehidupanku yang dulu amatlah tipis.
“kapan aku pulang sus?”
tanyaku pada perawat berjilbab disampingku. Matanya tak luput dari kantung
infus yang tergantung pada tiang di pinggir tempat tidurku.
“ kalau sudah membaik
pasti bisa pulang kok mas Rizal” jawabnya sambil tersenyum. Masih dengan mata
yang tak lepas dari kantung infus
16 Februari 2001
Hari yang aku tunggu akhirnya datang. Aku keluar dari
hotel penderitaan ini. berkemas dan kembali dirumahku yang lama tak aku jumpai.
Kamarku yang penuh poster team bola kelas dunia. Hingga karakter kartun
favoritku terpajang rapi didinding kamar dengan jendela besi berwarna natural.
Hujan kembali mengguyur tanah yang gersang. Ia juga
menemaniku dalam sepi, derasnya mengingatkanku pada suatu waktu yang
terlupakan, entah kapan. Memoriku berusaha mengingat hari sebelum ini.
“arrghhhhh!!!” semakin
aku berusaha mengingat, semakin sakit kepalaku.
“mas Rizal, mas Rizal
kenapa?”
‘ambil obatku bi, cepat
ambil obatku”
“iya, ini mas rizal”
seru bibi dengan paniknya
“haduuh mana nyonya gak
ada lagi”
“hah...syukurlah”
“sudah mendingan mas
Rizal?”
“iya bi lumayan. Tolong
jangan beri tau mamah ya bi” seruku memohon
“loh,,yah harus dikasih
tau ke mamahnya mas Rizal, kalau nanti sakitnya semakin parah bagaimana?”
“bi, dengar yah, sekali
saya bilang diam yah diam gak usah beri tau siapapun!” ujarku tegas sambil menatap ke arah bi Ina
“ba...ba...baik mas Rizal”
“sekarang bibi boleh
keluar dari kamar!” perintahku segera kepada wanita yang bertahun-tahun bekerja
pada keluargaku sejak aku masih kecil.
Hujan kembali mengguyur bumi, membasahi jalanan yang
terpanggang matahari. Saat hujan inilah aku merindukan seseorang yang pernah
menancapkan sejuta kenangan. Aku menyukai hujan sebagaimana dulu aku pernah
bersahabat dengan hujan. Bersahabat dengan para sahabat hujan, yang bersorak
sorai saat hujan datang. Walaupun bahagianya saat hujan datang demi kepingan
rupiah yang mungkin tak seberapa harganya bagi orang lain.
***
27 Mei 2004
Tiga
tahun lebih lamanya setelah kejadian sore itu. Saat aku memutuskan home
schooling dan menjalani terapi rutin untuk kesembuhanku secara total. Tetap
saja kondisiku tak sesempurna dulu. Beruntungnya aku tak perlu mengikuti ujian
persamaan paket C saat UASBN. Walau kondisi fisikku terbatas, otakku masih
dapat menampung berbagai macam materi pelajaran yang diujikan. Ingatan semakin
membaik, aku sudah bisa mengingat kronologis tabrak lari yang menimpaku.
Orang-orang yang sedetik sebelum itu ada bersamaku. Riang yah, Riang namanya. Gadis berbadan
mungil yang selalu dipanggil Cil oleh teman-temannya kecuali aku. Ternyata
Riang juga yang pernah diusir mamah saat menjengukku di rumah sakit waktu itu.
Aku juga masih mengingat plat nomor belakang mobil pick up pengangkut barang
yang menabraku ketika itu dan membuatku lumpuh hingga saat ini. Para dokter
sudah memutuskan untuk mengamputasi kaki kananku. Karena kondisi jaringan pada
tulang kering yang sudah rusak akibat benturan keras. Walaupun pihak dokter bedah
tulang sudah berusaha semaksimal mungkin tetaplah kuasa Allah yang menggenggam
hidupku.
Aku mulai belajar shalat lagi lewat buku-buku. Beberapa
kali aku sengaja mengikuti pengajian dikomplek dekat rumah walaupun dengan
perasaan malu karena kondisiku yang tak sesempurna. Tak peduli dengan cibiran
orang yang menganggap keluargaku tertimpa kutukan sial dari almarhum ayahku
yang dahulu pernah menjadi tersangka korupsi
Hari ini tepat dua puluh tahun usiaku. Ada harapan yang
aku pinta untuk memiliki kaki kembali. Doaku panjang dalam tangisku yang
membasahi sejadah. Aku hanya meminta satu hal entah bagaimana caranya memiliki
kaki yang utuh.
“Rizal, mamah mau ajak
kamu kesuatu tempat”
“kemana?”
“nanti kamu akan tau
kemana mamah akan mengajakmu”. Aku pun bergegas menjalani kursi rodaku menuju
mobil. lagi-lagi Bi Ina dan pak Jojo supir pribadiku yang membantuku masuk ke
dalam mobil
“terimakasih bi,
pak”balasku sambil melempar senyum ke arahnya.
“ iya mas,,baik-baik
yah mas rizal sama ibu semoga dapet supris yang hepi hepi” sambutnya dengan
bahasa sok inggris yang keliru
“iya makasih ya
bi...titip rumah ya bi”
“tenang aja bu insya
Allah rumah gak akan digondol kucing kok” jawabnya asal hingga membuat aku dan
mamah tertawa renyah didalam mobil
Hujan masih berjatuhan di bumi. Jalanan basah dan sebagian
besarnya digenangi air. Ada cerita pilu dari beberapa lokasi yang terdengar
diradio. Mereka kebagian bencana banjir
kiriman dari bogor salah satunya wilayah kampung pemulung Rancoh yang tak jauh
dari sekolahku dulu.
“itu rumah Riang!”
teriaku dalam hati. Yah hanya dalam hati saja. aku tak mau merusak momment
bersama mamah hari ini. andaikan aku punya kaki baru aku tak segan-segan
mengunjungi para korban banjir. Sayangnya aku tak seperti dulu, yang ada aku
hanya menambah kerepotan mereka saja nanti. abaikanlah semuanya saat ini. aku
hanya dapat berdoa tanpa bertindak apa-apa.
“payah” aku kembali
mengepalkan tanganku dalam diam. Aku hanya bisa mencercah pada diriku yang tak
mampu. Bintang yang kecil saja mampu membawa manfaat bagi malam yang gelap.
Begitu juga dedaunan kering yang jatuh ke tanah mereka bisa berfungsi sebagai
pupuk kompos dan menghasilkan manfaat bagi tumbuhan-tumbuhan yang
membutuhkannya. Bukankah manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang
lain? Lalu bagaimana denganku? Apa ini sebuah hukuman atau mungkin kasih sayang
yang Allah buktikan pada proses hidup ku?
“sudah sampai, ayo kita
turun” ajak mamah kepadaku. satpam ruko pun siap
‘Rain craft and
creativity’
“nah, ini dia tempat
yang mau mamah tunjukan padamu zal” aku benar-benar tak menyangka ada toko
seperti ini. entah siapa pemiliknya, bahagialah orang yang bisa dekat dengannya
dan bahagialah orang yang menginspirasi itu.
“terima kasih mah”
mamah membalas dengan senyuman yang indah. Melebihi pelangi yang muncul selepas
hujan.
“pasti dalam benakmu
bertanya, siapa pemilik toko ini?” ucap mamah kepadaku. aku tak menjawab sekata
pun, tapi mamah selalu tau apa yang aku mau.
“sebentar yah...mamah
akan panggil owner toko ini”. aku menunggu pemilik toko ini. aku akan berterima
kasih sekali dengan adanya toko ini. sungguh. Jika dia laki-laki lajang
bahagialah calon istrinya bertemu orang semacam dia. Namun jika ia perempuan
yang telah menikah bahagialah anak-anaknya memiliki ibu sepertinya.
“Assalaamua’alaikum
Rizal” suara yang akrab ditelingaku tapi bukan mamah tapi tak mungkin bi Inah.
Aku spontan membalikan badanku yang telah tegap berdiri diatas kaki palsuku
“Riang?!” aku terkejut
tak karuan. Dialah malaikatku selama ini kini sungguhan hadir didepan mataku.
Dengan balutan jilbab yang menutupi kepalanya dan busana muslimah senada kini
dia hadir kembali dalam kehidupanku. Tubuhnya masih mungil seperti dulu
senyumnya yang manis juga masih terlukis diwajahnya.
“apa kabar kamu zal?”
“yah beginilah aku
seperti yang kamu lihat”.
“Hari inilah yang akan
mamah persembahkan untuk kebahagianmu Rizal” tiba-tiba suara mamah menyambar
dan ia muncul diantara perbincangan kami.
“maksud mamah?” tanyaku
penasaran
“mamah sudah tau kronologis
semuanya hari itu. Memang bukan Riang penyebabnya. Pelaku yang sekarang
meringkuk dipenjara ialah yang mengakui semuanya. Yah, ia mengakui semuanya
karena anaknya juga kehilangan kaki. korban tabrak lari. Lalu mamah mencari
keberadaan Riang. ternyata Riang bekerja dibutik teman mamah. Ia disekolahkan
dan mengikuti ujian paket C sekarang Riang sedang menjalani kuliah di jurusan
manajement dan membuka toko kerajinan kaki palsu ini”
“jadi kamu pemilik toko
ini?” tanyaku pada Riang
“yah, aku pemilik toko
ini. berawal dari rasa bersalahku padamu dan keluargamu Rizal. walaupun pada
akhirnya waktu telah menjawab semua yang belum terjawab”.
***
“papah...” suara anakku
Fikri mengagetkanku dari dalam mobil yang dibawa istriku sore ini saat menjemputku
disekolah tempat aku mengajar. Bidadari cantiku keluar dengan payung merahnya
dari dalam mobil. Yah bidadari cantikku yang menginspirasi bahkan menginspirasi
banyak orang, sahabat hujan yang kini menjelma melebihi seorang sahabat, dialah
ratu dalam istanaku semenjak januari 2008 dalam sebuah janji suci dihadapan
Al-qur’an. dialah ibu dari anakku Fikri. Dialah Riang sang malaikatku si
sahabat hujan