Part 1
“Coba
dulu permainan ini...kalau kamu mampu melewati rintangan ini, permen karet
ditanganku buat kamu,” ucap anak laki-laki berusia 8 tahun itu sambil
menunjukan permen karetnya kepada Giya. Ia pun berdiri tertantang dengan bocah
lelaki di hadapannya. Anak laki-laki itu menggenggam butiran bola-bola berwarna
cerah. Giya yakin itu permen karet yang nikmat sekali. Tangan Giya hendak
merebut, tapi ia kalah gesit. Ronald menangkupkan genggamannya sambil
mengangkat alis mata kanannya menantang bocah berambut ala Demy More itu
“Coba
dulu itu,” sebelah alis Ronald terangkat beberapa senti ke atas.
Namanya
Ronald. Orang memanggilnya dengan sebutan Onang. Karena sewaktu kecil dulu
Ronald tidak dapat memanggil namanya dengan sebutan Ronald. Orang bilang cadel.
Jadilah Onang nama panggilan yang terkenal sekarang. Dia memiliki kakak yang
juga satu sekolah dengannya. Namanya Hendy. Orang tuanya bekerja menjadi abdi
negara sebagai TNI sedangkan ibunya sebagai guru di SMP Perwira 2.
Giya
tak mau dianggap pecundang jika ia tak mengambil tantangan dari Ronald. Lagi
pula permen karet rasa strawberry di tangan Ronald membuat air liurnya hampir
melelah tak tertahan.
“Oke,
Siapa takut! ini mah kecil.” Giya menjentikan kelingkingnya ke arah Ronald.
Satu...dua...tiga...‘Hap!’
Giya bergelantungan pada gelang-gelang besi yang diikatkan pada besi jemuran
baju milik ibu penjaga kantin. Tangannya cekatan menggelantung dari satu cincin
ke cincin besi yang lain. Matanya membelalak saat imajinasi liarnya bekerja.
Ada jurang di bawah kakinya semakin lebar...semakin lebar dan semakin dalam.
Kini tubuhnya tepat menggelayut pada jurang yang dibawahnya banyak sekali
buaya-buaya kelaparan.
“AAAAAAA.....!!!!”
jeritnya keras sambil memejamkan mata. Saat itu pula tubuhnya tak berkoordinasi
baik dengan tangan dan kaki yang mulai kacau.
Kakinya ingin menggapai gelang besi lainnya karena Giya sadar tangannya
tak bisa menjadi tumpuan tunggal tubuhnya saat tangan lainnya bekerja menggapai
jauhnya gelang besi yang tergantung itu.
‘klining’
Sempurna. Saat gelang-gelang besi itu berbunyi akibat bersentuhan, tubuh Giya
pun berubah 1800. Kini bukan tangannya yang menyentuh gelang besi
tapi berubah menjadi kakinya yang tersangkut pada gelang besi jemuran.
Ronald
berlari menuju kelas. Mengabari hal buruk yang terjadi pada Giya di halaman
sekolah yang tepat sekali berada di depan jendela kelas 3 pelangi.
“Oww...Bencana
apa lagi yang akan kamu buat nak!” tutur Miss Sofi sambil mengusap dahinya yang
berkeringat melihat tingkah Giya di halaman sekolah.
Seharusnya
Giya tak lagi keluar dari kelas. Seharusnya ia berada di tempat duduknya pada
jam ini. Seharusnya gadis kecil itu sedang fokus dengan pelajaran yang akan
dibahas Miss Sofi pagi ini.
“Orang
aneh!” gumam si cantik melani sambil menggeleng-geleng kepala seperti orang
dewasa. Rambutnya yang ikal bergoyang kekanan dan kekiri dengan anggun bak
seorang putri kerajaan di cerita-cerita Dysney.
Sekolah dasar
merah putih pukul 07.30. Hijaunya rerumputan telah terinjak kaki-kaki mungil
anak-anak yang berlarian menuju kelas. Cat tembok yang telah pudar namun, tiang bendera di
tengah-tengah lapangan masih tetap berdiri gagah meninju langit. Jendelanya
nampak rapi berbentuk persegi panjang dengan tempelan-tempelan lucu dan menarik
hasil ciptaan tangan anak-anak. Deringan bel yang berbunyi setengah jam yang
lalu juga telah menyulap halaman sekolah sedikit lebih sunyi. Pada menit ini
seluruh siswa berada didalam kelas, di laboratorium, di dalam mushallah, atau
di dalam ruang multimedia yang sesuai
dengan subject mata pelajarannya
masing-masing.
Hari
pertama di bulan Maret. Memasuki bab baru pada materi pekerjaan, miss Sofi
menjelaskan tentang pekerjaan-pekerjaan yang terdapat di masyarakat kita. Mulai
dari pekerjaan yang berat hingga pekerjaan yang dikerjakan dengan duduk
berlama-lama di depan komputer.
Giya
segera menempati kursi dan mejanya yang penuh dengan tempelan-tempelan sticker Disney. Goofie, Paman Gober, Donald, dan juga Mickey Mouse. Ia
merapikan kursinya dan bersiap mendengar penjelasan Miss Sofi tentang
pengetahuan baru kali ini.
Semua
siswa nampaknya antusias dengan pelajaran tentang pekerjaan. Satu-satu, Miss
Sofi mempersilahkan mereka maju kedepan untuk mengungkapkan cita-citanya kelak
dalam bekerja.
“Melani,
Silahkan maju kedepan, coba ungkapkan keingananmu kelak akan bekerja pada
bidang apa?” tutur Miss Sofi. Gadis berambut ikal dengan mata bundar yang
menawan itu melangkah pasti kedepan kelas. Senyumnya yang berpadu dengan
keindahan lesung pipinya bagai guratan matahari pagi yang cerah dan menaburkan
kesegaran. Melani siap dengan ungkapannya. Seluruh anakpun siap menjadi
pendengarnya. Begitupun dengan Giya yang terlihat bertumpang dagu menunggu
penuturan Melani.
“Aku
Ingin sekali menjadi seorang artis seperti Asmiranda. Dia cantik, baik dan
terkenal.” Sempurna, gadis ini menuturkan pendapatnya dengan jelas dan ekspresi
yang sangat menawan cocok sekali menjadi seorang artis papan atas seperti yang
diimpikannya sejak dini. Beberapa anak terdengar berceletuk. Ia lah dia bisa jadi artis, kan dia cantik dan anak orang kaya.
“Baik,
siapa lagi yang mau mengungkapkan keinginannya kelak bekerja dimana. Ok Hands Up!” seru Miss Sofi kepada para
siswa-siswinya.
“Me teacher...” Giya mengangkat tangan
kanannya untuk maju ke depan.
Sekarang,
giliran dirinya maju menunjukan kemampuannya dalam mengungkapkan impiannya
dalam bekerja.
“Silahkan
Giya, ungkapkan keinginanmu.” Gadis itu melangkahkan kakinya dengan mantap. Seperti seorang menteri yang
kelak akan ditepuki dan disalami oleh orang banyak. Ia merasakan tepukan tangan
penghormatan dan teriakan orang-orang yang mengelu-elukan namanya. Giya siap
dengan pidatonya sebagai seorang menteri di podium yang kini masih menjadi
ruang kelas dengan disply-disply
menakjubkan.
“Ketika aku besar nanti aku akan
menjadi.... (Bersambung dulu yah... :) )