Hai, kenalin nama aku Siti Nurlaela. Teman-teman akrab
memanggilku Ela. Terkadang mereka gemas mengobrak abrik namaku menjadi Ela...Ela...E...E...E...Gak punya Umbrella.
Itu tuh, mengikuti trend lagu umbrellanya penyanyi asal negara Paman
Sam, Rihanna. Ibu ku seorang buruh rumah tangga yang sehari-harinya bekerja
menjadi tukang cuci di rumah gedongan komplek perumahan elit Nirwana Permai.
Sedangkan bapakku seorang buruh pabrik kelas bawah yang sering kali dihantui
perasaan was-was terkena PHK.
Aku
adalah anak kesayangan ayah dan ibuku.
Untunglah rumah kami tak begitu besar seperti rumah-rumah di komplek elit itu,
karena Allah yang maha pemurah hanya
menurunkan takdirnya kepadaku sebagai anak tunggal di keluarga ini.
Sedari kecil, aku punya mimpi menginjakan kakiku di atas
karpet megah rumah gedongan tempat ibuku bekerja. Tapi, ibuku selalu
melarangnya dengan alasan “Nanti
karpetnya kotor. Emak nyucinya makin susah, memang kamu mau emak nggak
pulang-pulang gara-gara nyuci karpet seharian?” tegas ibuku saat aku
kembali marajuk untuk ikut kerumah gedongan tersebut. Hingga suatu hari aku
nekad membuntuti ibuku bekerja. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang.
Mengendap-endap bagai maling, melangkah kecil pelan-pelan takut ibu tau kalau
aku membuntutinya. Tapi, tetap saja nyali ku menciut saat satpam bertubuh Hercules
dan berkumis hitam layaknya sapu ijuk itu mondar mandir di depan gerbang. Ia
tak mungkin mempersilahkan sembarangan orang untuk masuk ke rumah gedongan itu.
***
“Elaaa....!!” teriak Owid sambil berlari tergopoh gopoh
ke arahku. Sahabatku yang paling malas berolah raga ini akhirnya berlari juga
demi memberitakan satu info penting kepadaku. dahinya di penuhi peluh sebesar
biji jagung. Wajahnya klimis akibat keringat yang bercampur dengan matahari
yang terik di atas sekolah kami. Nafasnya terenggal-enggal karena jarang sekali
ia bergerak. Setiap jadwal olah raga sudah dipastikan Owid akan pura-pura sakit
dan menjadi penghuni UKS. Tapi hari ini, tiba-tiba ia menjadi pelari estafet
hebat yang membawa segenggam berita untukku.
“Itu tuh, Nyokap lo jatoh katanya di kejar anjing
peliharaannya si Steven,”
“Apa!?” Aku pun
terkejut mendengar penuturan Owid yang seperti kaleng dipukul dengan benda
keras. Cempreng dan berisik sekali.
Sungguh tak ada nada indah keluar dari mulutnya. Yang ada hanya kepulan udara
tak sedap seperti kentut naga.
“Nyokap guwe jatoh dimana Wid?”
“Di depan rumah Steven, tempat nyokap lo bekerja. Cepetan
dah elo susul nanti nyokap lo kenapa-napa lagi.” Aku bergegas menyusul ibuku
atas saran Owid. Tak butuh waktu lama kaki kecilku dengan lincah menggowes
sepeda hingga sampai di depan rumah besar beraksen eropa tersebut.
“Emak!” teriakku sambil berlari ke arah ibu ku yang
terduduk di bangku satpam.
“Emak nggak papa?”
“Enggak La, Emak Cuma kaget aja sama anjing baru
peliharaannya majikan emak.”
“Emak dikejar sama anjing itu? dasar anjing! Gak tau
diri. Udah tau emak-emak udah beranak satu masih aja di kejar-kejar juga.
Emangnya tuh anjing nggak laku-laku apa? Sampai emak guwe di kejar-kejar
segala.” Cercahku tak karuan seperti burung beo yang sedang mabuk akibat
kebanyakan meminum bensin bersubsidi yang belum diridhoi rakyat penerima
bantuan seperti aku.
“Pak, bapak kan satpam di rumah ini, kok bapak nggak sekalian
jagain anjing itu sih?” protesku
kepada satpam berkumis pak raden itu.
“Lah, saya kan di sini kerja jagain rumah bukan jagain
anjing.” Betul juga sih pendapat satpam itu. lagi pula seharusnya aku minta
pertanggung jawabannya sama si empunya hewan peliharaan sialan ini.
Akhirnya aku beranikan diri untuk meminta pertanggung
jawaban kepada tuan rumah pemilik istana megah ini. Hitung-hitung mewujudkan
mimpiku yang pertama untuk menginjakan kakiku di karpet mewah rumah gedongan
ini.
Pak satpam menyuruhku menunggu di luar tapi aku
menolaknya dengan alasan aku adalah tamu, dan tamu adalah raja yang harus
dihormati. Satpam rumah itu pun luluh dengan alasanku yang terkesan memaksa.
Aku pun berhasil masuk ke rumah itu dan akhirnya aku menginjakkan kakiku di
karpet mewah yang katanya dibeli langsung dari Eropa Timur. “Alamak!” hatiku berdecak kagum. Mataku
menelusuri istana megah ini, kira-kira berapa banyak yah uang yang dihabiskan untuk membuat rumah semegah ini. Jika di
tukarkan untuk beli es cendol seharga seribu lima ratus Rupiah pasti Tanjung Priuk
akan ikut tenggelam dan menjadi kota di bawah lautan cendol.
“Heh! ngapain lo disini?” Sebuah suara mengagetkanku.
Dari atas balkon rumah ini. Spontan aku menoleh ke arah suara tersebut.
“Ya Tuhan....dia
ganteng banget. Si Bintang muda yang sedang bersinar namanya ini kini berada
dihadapanku, dihadapan pengagum gilanya. Aku berhadapan dengan Steven, oh
tidaaakk,” ucapku dalam hati terkagum kagum memandangi wajah tampan Steven.
“Hey, hello are you okay?”
“Iya, iya kak Steven oke oke,” jawabku gelagapan kikuk
didepannya.
“Elo ngapain disini?” Steven bertanya menyelidik. Aku
berusaha membenarkan posisi hatiku yang kebat
kebit dibuatnya, berusaha memperbaiki mentalku yang tak karuan seperti
layangan singit selama beberapa
menit.
“Ehem, gue kesini mau minta pertanggung jawaban sama
pemilik rumah plus pemilik binatang peliharaan sialan itu!” tegasku dengan nada sedikit meninggi berusaha setara
dengan Steven agar tak ada posisi si kaya dan si miskin.
“Gue pemilik rumah ini, guwe juga yang punya anjing itu.
terus elo mau apa?”
“Yah...yah mau minta tanggung jawab, karena gara-gara anjing
itu emak guwe jadi jatuh,”
“Loh, kok guwe yang tanggung jawab! Anjing guwe kan di
rantai. Emak lo aja yang ke Ge-er-an disangka anjing guwe ngejar-ngejar emak
lo,” Steven berusaha mengelak, aku berusaha semampuku agar dia mau bertanggung
jawab karena ibuku terjatuh gara-gara ketakutan suara gonggongan anjing yang
baru datang itu. Maklum, hewan baru di tempat baru memang butuh banyak adaptasi
jadi terkadang sepanjang hari ia harus menggonggong hingga serak.
“Ok, sekarang elo mau guwe tanggung jawab apa?” tanya
Steven padaku
“Guwe mau, emak guwe dibawa ke rumah sakit karena kakinya
pada luka akibat jatuh. Terus, emak guwe dikasih cuti dua hari buat istirahat
tapi gajinya nggak dipotong, gimana?” tawarku pada Steven. Penawaran yang tak
masuk akal memang, mana ada cuti tapi gaji full,
padahal ibu ku juga luka tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Paling, di kasih
plester luka juga sembuh. Ini kerjaan aku saja yang memang sengaja ingin dekat
dengan Steven. He..he..he..
“Ok, Baik
penawaran lo guwe setujui setelah ini elo pulang dan bawa nyokap lo ke rumah
sakit. Biar nanti guwe yang urus administrasi rumah sakitnya.”
“Iyesss ini namanya
sekali berlayar satu dua pulau terlampaui. Mimpiku pertama untuk menginjakkan
kaki di karpet mewah ini sudah sekaligus berurusan dengan pangeran pemilik istana
megah ini, dengan begitu jalan ku untuk berdekatan terus dengannya akan
berjalan mulus,” gembiraku dalam hati. Semesta seakan mendukung mimpi
sederhanaku yang pertama. Thanks God
***
‘Cinderela
itu bukan sekedar isapan jempol tapi itu kisah nyata, betul kah?’
Aku berjalan menyusuri rumah-rumah elit bergaya eropa
ini. Sepi dan sunyi, tembok-tembok kekar menantang, pagar-pagar besi yang
tinggi melabelkan kedudukan si pemilik rumah yang terkesan angkuh dan tak
mengenal tetangga satu dengan lainnya.
“Kalau ada orang meninggal didalamnya mungkin nggak ada
yang tau kali yah,” fikirku waktu
itu. Tapi ternyata aku salah, tidak semua mereka seperti yang aku kira.
Buktinya, selama aku sering berurusan dengan Steven sang pangeran pujaanku
orang tuanya sangat menyayangiku seperti menyayangi anaknya sendiri. Pantas
saja, ibuku betah bekerja di tempat ini bertahun-tahun.
“Ela, besok sepulang sekolah kamu mampir lagi saja ke
sini. Besok Steven pulang dari Road Shownya di Bandung, sekalian kami mau
merayakan ultahnya Steven yang ke 17 tahun,”
“Beneran bu? Saya besok boleh mampir ke sini lagi dan
ikut pestanya Steven?” Nyonya besar rumah itu membalasnya dengan senyuman,
cantik sekali. Ia benar-benar baik hati tidak seperti ratu-ratu jahat di cerita
negeri dongeng.
Sebenarnya Steven juga baik. Tapi terkadang aku saja yang
sering kelewatan, aku terlampau caper bin
carmuk dihadapannya. Mangkanya, dia sering kali pusing dengan ulah ke
ABG-an ku.
***
“Selamat ya La, akhirnya bener-bener jadi Cinderella. Elo
keluar juga dari jalur kemelaratan ha...ha...ha....” ejek salah satu teman
sekolahku. Sial! Lagi-lagi aku
dijuluki Cinderella.
“Tapi setelah jam 12 malam dia kembali lagi jadi upik abu
kwkwkwkwkw,” Ingin sekali aku hujamkan bogem mentah ke kepala mereka biar tau
rasa.
“Dih...dih...mendung deh tuh matanya mau turun hujan
deres hiks...hiks...kecian” ledek
Bayu yang paling menyakitkan diantara ledekan yang lain. Dari pada aku meladeni
ejekan mereka kemudian aku jadi ‘monyet’ mending aku tinggalkan mereka dengan
ejekan-ejekan basi-nya.
Hari ini sekolah memang heboh gara-gara paparazi yang
berhasil mengabadikan fotoku yang satu mobil dengan Steven di tempel pada
mading sekolah. Owid tak kalah histerisnya dengan siswa lain, saking ngefansnya
doi sama Steven sampai-sampai
Owid minta topi, kaos dan aksesoris
milik Steven kepadaku. itu mah namanya
ngerampok!
Dalam hiruk pikuknya gosip antara aku dan Steven, ada
satu siswa yang tak tertarik sama sekali. Abi teman satu kelasku yang pintarnya
menyerupai Einstein, Abi itu ibarat pohon yang tegap dan tak gentar dalam cuaca
apapun. Ia tetap berdiri tanpa terombang ambing tiupan angin saat yang lain
luluh lantah diterjang topan beliung. Dalam trending topik yang ‘gila’ ini saja
Abi masih santai dengan buku-buku di tangannya tanpa tergoda. Sesekali ia hanya
melirik ke arah mading tanpa ekspresi, dan masih tanpa bicara.
Abi membenarkan kaca matanya saat beberapa kali aku
ketahuan memperhatikannya diam-diam. Bukan, bukan, bukan karena aku
menyukainya, Abi jelas bukan tipe aku. Karena dia sama seperti aku, sama-sama
melarat! Sama-sama hidup dijalur kemiskinan. Jelas, tidak mungkin lah aku
mengharapkan orang seperti Abi yang sebelas dua belas susahnya dengan aku.
Pangeran pujaanku tetap Steven, sekali Steven tetap Steven.
“Ela, lo bengong sambil senyum-senyum sendiri,” tanya Abi
tiba-tiba.
“Eh, emangnya bengongin elo apa! Gak usah Ge-Er deh Bi,
elo kira guwe suka sama elo apa,”
“Ye, guwe cuma nanya kok, elo jawabnya malah nggak
nyambung.” Abi menggeleng-geleng kepalanya tak faham dengan sikap ku.
Sebenarnya yang ke PD-an itu aku atau Abi yah? Sepertinya aku yang ke PD-an
dengan Abi yang aku kira menyukaiku.
Aku beringsut dari tempatku berdiri, sengaja kutinggalkan
Abi yang terbengong-bengong di sana.
“Maafin aku Abi,
sebenarnya aku mengagumimu, tapi...pesona Steven lebih besar dibanding kamu.”
Hatiku bertutur jujur.
***
Pesta Steven berlangsung meriah banyak kalangan
selebritis datang memberikan ucapan selamat kepada Steven yang mulai beranjak
dewasa di usia yang genap 17 tahun ini. mereka tampil sangat memukau pandangan
mata. Cantik, tampan dengan baju dan gaun-gaun indah bak pangeran dan putri
raja.
Aku menghadiri pesta tersebut karena undangan orang tua
Steven. Ibuku sudah dari pagi berada di rumah gedongan itu, sedangkan aku
menghadirinya saat pesta berlangsung meriah dengan para tamu-tamu undangan. Aku
mengenakan gaun yang baru saja aku beli dari pasar loak. Gaun ini, katanya gaun
bekas dipakai Gita Gutawa saat acara konser mininya beberapa hari lalu. Gaun
bekas pakai yang masih terlihat cantik ini aku beli dengan uang celenganku dua
ratus ribu rupiah. Harapanku semoga pemakai lamanya tidak mengenalinya kembali.
Jika menghadiri pesta malam ini.
“Ela, kamu yakin mau ke pesta itu?” tanya Abi yang
tiba-tiba saja menghadangku di depan istana milik keluarga Steven.
“Yakin, emang elo nggak liat guwe udah secantik ini?” balasku
cepat. Abi hanya tersenyum tanpa jawab. Satu isyarat mempersilahkan aku untuk
lanjut menuju istana megah itu.
Aku berjalan pasti, dengan gaun baru, sepatu baru, kalung
mutiara baru dan cincin permata indah walau semuanya adalah barang bekas dan imitasi.
Sekali lagi aku melihat di kaca kecilku, ternyata aku memang cantik bahkan
malam ini amat cantik. Aku tersenyum penuh percaya diri. Kususuri anak tangga
pualam beralaskan marmer. Sempat aku khawatir terpeleset karena lantai yang
terlalu licin ini. mangkanya aku berjalan penuh kehati-hatian. Sambil mengangkat
gaunku yang terlampau rempong.
“Hati-hati ya La, semoga nggak kepeleset dan berhasil
wujudkan mimpi-mimpi cinderella!” Seru abi dari luar gerbang. Aku membalasnya
dengan senyuman kepada Abi.
“Thanks Bi.”
Lantai dansa ruangan pesta yang megah, karpet merah yang
sudah lama kuimpikan ini akhirnya menjadi kenyataan. Ribuan pasang mata akan
tertuju ke semua peserta pesta yang berlenggak lenggok melewati karpet ini
seperti peragaan busana kalangan menangah ke atas yang nyaris sempurna
mengagumkan. Aku melangkahkan kakiku dengan pasti. Rambut panjang ikal yang
tergerai dengan hiasan pita kupu-kupu berhasil menyulapku dari seorang upik
abu menjadi secantik putri raja.
Steven terlihat gagah dengan jas abu-abu dicampur celana
jeans santai yang ia kenakan. Wajah blesterannya bak roti tawar yang diolesi
mentega kemudian dicampur mesis seres ‘yummy
banget jadi tak sabar ingin segera memilikimu Steven’.
“Ela, ini kamu? kamu cantik sekali malam ini....” tutur
ibunda Steven kepadaku.
“Ma...makasih nyonya,” sambutku dengan gembira. Akhirnya
dapat lampu hijau dari calon mertua ‘cmiw’.
One step closer dalam mewujudkan
mimpi-mimpiku.
Tak banyak berkata aku langsung turun ke arena pesta.
Mencoba sejajar dengan para tamu undangan dari kelas menengah. Steven
melihatku, ia melempar senyum ke padaku. Aku meleleh dibuatnya dan sempurna tak
dapat bergeming. Steven berjalan menghampiriku, yah, dia menghampiriku. Matanya bertemu dengan mataku, lengkap
keindahannya. Kini, ia berdiri tepat dihadapanku. Dihadapan orang banyak. Aku
membuang senyuman simpul ke arahnya. Semua matapun tertuju kepadaku.
“E...,” Steven berkata tergugu. Langsung kusambar tanpa
basa basi.
“Iya aku Ela, Steven!”
“E...Emilia, akhirnya kamu datang juga.”
“What! Emilia?”
Spontan aku menoleh kebelakang. Ternyata gadis cantik bak bidadari berada tepat
sejajar di belakangku kini. Mata Steven selama ini tak tertuju padaku.
Dimatanya hanya ada Emilia gadis cantik yang memang sepadan dengannya. Emilia.
***
Langkahku gontay menuruni tangga yang berjajar rapi
disilimuti karpet mewah ini. hujan rintik-rintik membasahi lantainya yang
licin. Hati-hati aku melangkah keluar meninggalkan arena pesta yang masih
bergulir.
‘plesssstttt...brug!’ aku terjerembab di atas lantai yang
licin. Menyakitkan, tapi aku berusaha bangkit dan berdiri walaupun beberapa
kali terjatuh lagi karena sepatu yang licin.
“Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi...” seruku sambil
bernyanyi dalam irinngan suara tangis.
“Bangun La, gadis
seperti lo terasa asing jika menangis hanya gara-gara hal sekecil ini.” Sebuah
suara yang aku kenal samar-samar terdengar. Aku menengadah ke atas, seorang
anak lelaki mungkin dialah pangeran dalam mimpi-mimpiku selama ini. Pangeran yang
menguatkanku, yang tangannya terjulur membantuku, tak tampan, namun meneduhkan.
“Abi...!” Ternyata Abi orangnya. Dialah pangeranku yang
membuatku menjadi diriku sendiri, bukan menjadi seorang Cinderella di usia
sedini ini. Kini mimpi-mimpiku tergapai sudah. Bukan mimpi-mimpi Cinderella
karena cerita Cinderella hanya ada di negeri dongeng bukan di negeri kenyataan.
Sedangkan aku, bukanlah Cinderella tapi aku Siti Nurlaela. *selesai*