Selasa, 30 Juli 2013

Survey pembagian toples kue lebaran with trans 7 and kotak oren

Minggu 27 Juli 2013. guwe dapet project yang lumayan baru nih dari om hilal ahmad. mentor di komunitas yang sekarang guwe gelutin bareng teman-teman penulis. apa lagi kalau bukan SFBC. ramadhan ini, guwe dapat project pembagian toples kue lebaran buat warga kampung pemulung di pinggiran rel poltangan pasar minggu. 

semalam sebelumnya, guwe mendapat pesan via whatssApp dari mbak hesti seorang founder dari kotak orange. seharusnya bukan guwe sendirian yang ikut andil dalam kegiatan ini, tapi disitu ada mas zaky yang memang sudah faham tentang daerah pemukiman pemulung poltangan tersebut. nah, paginya....mas zaky, cancel untuk pendampingan survey di poltangan pasar minggu. ya sutralah tinggal guwe sendiri dari SFBC yang mewakili. yup, the time must go on gak mungkin dong guwe cancel juga karena mas Zaky gak jadi ikut. hasilnya, siang itu aku berkelana bersama teman-teman kotak orange. 

kami bertemu di pom bensin volvo. maaf, lagi-lagi guwe telat seperampat jam *dezigh*. mbak hesti dan tim trans 7 udah nunggu. Tambah lagi, handphone sengaja guwe matiin buat menghemat bathrei. kami berputar-putar daerah poltangan, para penunjuk jalan yang kami tanyakan sungguh terlalu menyesatkan. gak tau deh, menyesatkan karena guwe yang buta daerah situ, atau sesat karena panas yang menyengat seperti kompor meleduk siang itu. 

guwe berputar-putar dengan motor konvoi bareng mas ferdi adiknya mbak hesti. orangnya friendly banget sama deh kaya mbak hestinya. akhirnya, setelah beberapa lama kita tersesat gara-gara si penunjuk jalan anaknya ibu siswanto itu bablas meninggalkan kami, sampai juga di kawasan pemulung yang ternyata tadi sudah kita lalui hiks...hiks...*jadi pengen nangis* gara-gara tersesat T_T.

sesampainya kami di pemukiman pemulung pinggir rel kereta pasar minggu, terbayarnya panasnya perjuangan kami saat tersesat. akhirnya kami bertemu dengan anak-anak pemulung dan warga pemulung poltangan. Menyusuri pinggir rel kereta api bersama kawan-kawan dari kotak oren dan trans7 yang oke banget.  nah, kali ini baru survey nih, tanggal lima Agustus nanti kita baru action membagikan toples kue lebaran ke pemukiman pemulung pasar minggu. buat temen-temen yang mau bergabung lihat cp dibawah ini yah...


 saat menyusuri pinggir rel kereta bersama tim kotak oren and trans7
 ini ceritanya mau moto siapa yah....foto mbak hesti sama si ibu or mas ferdi???#gagalfokus

cp: 081381345078 PIN 2580047B @ovisofwilwidad (ovi)

Kamis, 18 Juli 2013

Hari yang konyol with miss April



                I
ni hari emang hari paling konyol dalam seminggu ini. Kenapa aku bilang dalam seminggu karena dalam sebulan sering kali aku mengalami hal konyol dengan berbagai varian rasa. Wedeh...varian rasa, kaya jualan makanan ada strawberry, mellon, cincau, pare sampe empedu. Loh? Semakin ke sini kenapa kekonyolannya semakin pahit ya? Akrena hidup itu gak semua manis kadang manis, pedas, kadang sepet, bahkan pahit seperti pare.
Selasa, 16 Juli 2013
                “Siapa yang mo ikut akooohh??” teriakku di kantor sekolahan. Profesiku sebagai guru muda, yang katanya masih ababil mengenalkanku pada dunia mikro kehidupan ini.
                “Ikut kemana jeng?” tanya salah satu rekan kerjaku bernama wiwi.
                “Ikut ke bank yuk nyetor,” ajakku padanya.
                “Berarti aku dapat uang ongkos nemenin doong?” jawab wiwi sumringah. Mereka memang manganggapku banyak uang. Alhamdulillah sih, bersyukur saja aku memang serba kecukupan setiap mau beli ini dan itu rasanya Allah mencukupinya bahkan terkadang menambahkan dengan cara yang tidak kita kira. Lagi-lagi bukan karena aku banyak uang tapi karena mungkin imbas dari rasa syukurku selama ini.  
                “Lah, pake minta ongkos kan saya mau nyetor ke WC,” jawabku datar kepada wiwi dan disambut dengan wajahnya yang inocent itu memanyunkan bibir tipisnya. Aku terbahak melihat wajahnya yang semula cantik seperti alisa subandono berubah menjadi omas wati. Jauh banget kan ngejatuhinnya.
                Yup, niat pertama setoran ke bank ajaib itu selesai. Aku pun bersiap-siap untuk berkelana sambil ngabuburit menunggu maghrib. Akhirnya aku lempar lagi pertanyaan yang sama seperti tadi.
                “Siapa yang mau ikut akoooh???” Semua tak ada yang bergeming. Mereka nampaknya sudah malas dengan kejailanku sebelumnya.
                “Serius nih...mau ngabuburit. Aku mau ke Gramedia Depok,” tuturku sambil merapikan tas ranselku siang itu.
                “Guwe ikut Vi, guwe ikut!” seru April dengan gaya ramainya yang seperti pasar pindah. Temen aku yang satu ini memang sedikit gokil bin picicilan. Di sekolah sebenarnya nggak boleh ngomong guwe karena pada aturan mainnya seperti itu. tapi, wanita yang sebenarnya anggun ini sering kali keceplosan kalau sedang bicara dengan aku atau teman-teman lainnya. April juga hobi jalan-jalan hingga sekarang, ditambah partner kerjanya dari dulu semenjak ditempati di sekolah ini selalu dengan anak-anak muda yang jomblo tapi bahagia hobi ngebolang macam aku. Padahal udah emak-emak dengan anak satu. Seakan tak ingat dengan statusnya sebagai seorang ibu, April dengan semangat ikut aku berkelana menjelajah margonda yang metropolis.
                “Ya udah yuk, tapi nanti pulangnya gimana?rumahku kan jauh banget,” tanyaku
                 “Ya elah kaga usah rempong deh sekarang banyak angkot dimana-mana, suami aku juga pulangnya malem kaanya mau main futsal dulu.”
                “Okelah, kita cabut, cuss ke Gramedia” ajakku semangat.
                                                                                                ***
Gramedia Depok, 14.00 AM
                Sampai di basement toko buku terbesar di kota Depok. Sepanjang jalan tadi, kami berbicara banyak hal dari masalah penempatan wali kelas, anak-anak hingga bicara bumbu dapur yang naiknya drastis melonjak kaya manjat tebing ngos-ngosan kalau liat struk belanjaan yang mahalnya bikin kepala sampai botak. Dalam parkiran UG Gramedia, sempat-sempatnya April meledek bapak satpam yang cemberut. Sampai aku tertawa geli dengan banyolan isengnya. Karena saking, konsentrasinya aku tertawa sampai-sampai salah masuk parkiran mobil. Mataku memang agak-agak siwer, padahal kacamatanya sudah tebal. Hampir saja aku lurus masuk ke perkiran mobil-mobil di parking area. Buru-buru aku membelokkan kuda besiku untuk berbalik arah dan turun ke tempat parkir paling bawah. Lalu memarkirkan motorku disitu.
                “Aduh...enak yah siang gini kalau ada es?” kataku.
                “Gila lu Vi, Istighfar!” serunya terkejut.
                “Maksudnya esyamsi wa dhuha ha...” jawabku dengan membaca awalan surat Asyams itu. Tangan April spontan menoyor kepalaku.
                Sesampainya kami di dalam gedung toko buku, aku menuju  rak buku horor. Niat ku memang ingin mengececk keberadaan buku terbaruku yang sudah mulai dipasarkan di toko-toko buku. Beberapa buku horor yang sepadan dengan bukuku juga bertengger di sisi kanan dan kirinya. Mulai cerita hantu Jakarta, horo 13 yang covernya kata teman sekomunitasku bilang “Covernya idiiiihhh banget” hingga cerita horor kejahatan.
                Aku mengambil salah satu buku diantaranya lalu kubaca sebagiannya. Sungguh, aku penasaran dengan buku horor yang katanya covernya idiiih banget itu. tapi, sayangnya itu buku belum ada yang dibuka plastiknya. “Ini tanggal tua cyiiinn...lagi nggak ada post untuk beli buku di tanggal segini.” Gumamku dalam hati. Akhirnya aku cukup menikmati jejeran cover-covernya saja dengan mata empatku.
                Tak cukup disitu, setan dikepalaku membisikan aku untuk membuka salah satu covernya. Tapi dilain hal, aku kan tak berniat untuk membelinya. Kalau aku rusak plastiknya aku takut ketahuan dari CCTV dan satpam-satpam itu.  Tanganku meraih ragu-ragu buku horor 13 itu, belum ada satu pun plastiknya yang terbuka. Bahkan secara nakal, tanganku mulai menggesek-gesek keras plastik buku tersebut agar terlihat ketidak sengajaanku yang konyol ini.
                “Permisi mbak, saya mau ambil bukunya,” kata seorang lelaki yang aku taksir masih kuliah di semester-semester pertama ini. ‘wedehh brondong’ . Lelaki itu mengambil salah satu buku yang memang aku incar dengan santainya. Tangan lelaki itu masuk kedalam rak hingga ketengah-tengah tumpukan buku-bukunya dan hap! Ia berhasil mengambil dan membawa buku yang telah telanjang tanpa sampul plastik.
                “Tuh, kan elo sih oon,” kata temanku April.
                “Biasanya itu kan ada ditengah-tengah,” April mengomentari keculunanku hari itu.
                                                                                                ***
                “Lama-lama guwe pegel Vi.”
                “Ya udin deh duduk aja sana cari di pojokan,” kataku pada ibu beranak satu ini. tanpa berlama-lama aku dan April mencari tempat PW atau Posisi Wenak yaitu di pojok belakng rak di depan kaca jendela toko. Posisi tersebut memang posisi yang paling favorite bagi para pembaca-pembaca kere akhir bulan seperti ku. Rasa hati ingin beli buku tapi dewi rupiah sedang tidak berpihak pada dompet-dompet di tanggal-tanggal tua.
                Aku berlari kecil menuju tempat PW tersebut. syukur-syukur tidak ramai seperti jalanan margonda. Aku melongok ke belakang rak di pojokan yang aku tuju.
                “Innalillahi...” kataku dalam hati. Takjub melihat pengunjung di toko buku ini yang setengahnya ternyata ada di tempat PW ini.
                “Kaya pepes Pril, pada selonjoran di lantai,” bisikku pada April. April pun terkekeh geli melihat pemandangan kampung nelayan dengan jejeran ikan teri yang dikeringkan oleh panas matahari seketika pindah ke dalam toko buku  gramedia ini.
                Aku pun ikut serta dalam pemandangan itu. semoga tak ada kamera pengintai atau CCTV. Karena jika ada, aku akan menjadi ikan buntal diantara pepesan ikan-ikan teri ini. Maklum, saat aku lihat-lihat bodyku paling seksehh diantara yang lain.
                Semenit dua menit hingga sepuluh menit berlalu dengan santainya. Buku yang kubaca pun hampir di bab ke tiga. Wihi cepet banget. Itu baca buku apa cuma kebat kebet doang yah?
                “Maaf, silahkan pindah ditempat lain, dilarang baca buku di atas lantai!” seru satpam berbadan tinggi berkulit agak gelap kepada kami yang berada di tempat PW itu. “lagi enak-enak juga...-iya deh ganggu kesenangan aja nih satpam.” Seru beberapa orang yang berada disitu.  
                “Baru kali ini guwe diusir secara terhina ama seorang satpam kaya begini,” gumamku dalam hati. Mana diliatin banyak orang, lagi puasa, laper. Haduuhh bener-bener nasib!!!
                Setelah aku puas membaca beberapa buku saat kejadian tadi, segera aku ajak April untuk pulang. Lelah, kelaperan, kucel, pegel-pegel sampai wajah penuh minyak menambah kusutnya kejadian siang itu. Mungkin, minyak diwajah ini bisa jadi energi alternatif pengganti minyak goreng atau bensin premium. kemudian aku dan April turun menggunakan eskalator yang bentuknya sangat imut. saking capeknya, April mengajakku duduk di eskalator yang sedang berjalan turun tersebut. spontan aku ikuti saja petuahnya karena aku pun kelelahan dan betis ku membengkak akibat menggunakan sepatu yang ada hells'nya. sambil memencet-mencet keypad balck berry dan memelototi layarnya dengan serius, aku tak sadar eskalator sudah sampai bawah dan seharusnya para pengguna keluar dari eskalator tersebut. namun, aku masih tak sadar sehingga tubuhku tak bisa berdiri dan hampir terjepit kemudian terjerembab di ujung eskalator yang masih berjalan. sedangkan April tanpa berdosa mentertawakan aku yang masih sulit berdiri. -____-
                Aku beranjak pergi dari toko itu. Membayar parkir motor yang wajah penjaganya ditekuk tanpa senyum, persis seperti uang seribuan yang lecek.
                “Senyum dikit napa mas....” April si emak-emak rempong ini lagi-lagi menggoda jahil petugas loket parkir tersebut.
                “Kualat loh Pril, nanti doai nggak redo.” Jawabku sekenanya. Masa bodo dengan komentarku. Baginya petugas jasa itu yah harus tampil apik dengan senyum. Akhirnya aku mencoba meng-gas si kuda besi itu setelah selesai urusan pembayaran parkir tadi.
                Jalanan keluar dari parking area gramedia menanjak. Ku nyalakan motorku yang sebelumnya mati secara tiba-tiba lalu meng-gasnya tanpa mengontrol posisi gigi ada di gigi satu, gigi dua atau gigi rontok.
                ‘BREEM!!’
                “E...e...mundur Pril, mundur Pril, nggak kuat nanjak, nggak kuat nanjak!” seruku panik. April yang duduk di belakang boncenganku sama paniknya dan segera turun. Mobil mewah dengan pengendara yang wajahnya mewah juga dibelakang motorku yang akan keluar, membunyikan klaksonnya tak sabar. Mereka pun panik karena takut mobilnya terkena bamper belakang motorku yang dekil ini. Takut kena virus sial, apa kena virus konyol kali yah...hehehe. Arpil lalu berjalan hingga ke atas sambil sumpah serapah seperti nenek-nenek yangn kehabisan sirih.
                Aku dan April pulang ke rumahku. Niatnya ia akan kerumah saudaranya di sukmajaya. Tapi, karena orangnya nggak ada jadilah dia ikut denganku pulang kerumah. Sore ini aku juga ada janji dengan Rita, teman lamaku yang punya butik kecil. Aku berniat untuk membeli baju kepadanya. Aku ajak saja April sekalian, siapa tau dia tertarik untuk beli baju.
                Aku jalankan motorku ke rumah Rita sambil beberapa kali tanya sana dan tanya sini. Tapi sesampainya di dekat rumah Rita.
                “Maaf Vi, guwe adanya jam lima.”
                “Yaa, padahal guwe udah deket rumah lo Rit,” jawabku lemas. Aku pun membelokan motorku pergi menuju jalan pulang. Dalam perjalanan, beberapa kali April mengeluh.
                “Kalau disuruh balik lagi guwe keder Vi liat jalanan komplek,” Tuturnya padaku.
                Sesampainya dirumah, aku ajak April solat dan segera menyiapkan buka puasa. Tukang es campur tujuan pengembaraan kita kali ini. beli es campur untuk buka puasa dengan ibuku. Aku pun segera pamit dan pergi mencari keberadaan es campur itu. jalanan komplek yang mavet dengan pedagang di pinggir kanan kiri jalan hingga kendaraan yang diparkir sembarangan membuat jalanan ini mampet kaya selokan depan rumah yang mengakibatkan banjir.
                Setalh mendapatkan es campur, aku kembali kerumah Rita. Suasana menjelang maghrib, fikirku akan keburu sampai di rumah pas maghrib tiba, tapi ternyata aku justru mendadak buka puasa di rumah Rita karena sampai lokasi rumahnya tepat ketika azan berkumandang. Berasa minta bukaan puasa sama Rita. Malunya tingkat benua asia. Tambah lagi aku dan April disangka mau priksa hamil lagi maghrib-maghrib mentang-mentang badanku ‘langsing’ #ups. Akhirnya aku bertemu Rita yang sudah hampir belasan tahun nggak ketemu. Rita temanku itu pindah saat kita mau naik ke kelas dua SD. Nah, sejak itu ia benar-benar hilang dari peredaran. Dunia blackberry akhirnya menemukan kami kembali dalam kondisi yang berbeda. Rita yang dahulu jutek bin judes sekarang telah bermetamorfosa menjadi seorang wanita yang anggun walaupun Allah belum mempercayainya untuk memiliki seorang buah hati setelah dua tahun menikah.
                Kekonyolan tak sampai disitu. Setelah urusan aku dan Rita selesai, kami pergi pulang. Kasihan ibu dirumah buka puasa sendirian. Jalanan keluar dari rumah rita itu melewati tanjakan curam dengan tiga level yanng berbeda-beda. Pokoknya tanjakan itu kadang buat para pengandara yang nggak bisa mengontrol gigi motornya was-was takut nggak bisa naik. Khususnya bagi para pengendara motor pemula. Sampailah aku di tanjakan tiga level tersebut. dengan hati was-was, aku merapalkan doa-doa mensugesti diriku dan motorku untuk kuat nanjak. Gigi motor telah aku kontrol sebaik mungkin, sayangnya yang kupakai kali ini bukan motorku, melainkan motor tua adikku yang dijuluki ‘si Bala’karena sering kali mogok dan ngadat tiba-tiba. Aku memegang pegangan gas ‘si Bala’ dengan penuh konsentrasi, sugesti dan doa-doa agar kejadian tadi siang tak terulang kembali di sini. Tapi, dalam perjalanannya, beberapa kali aku harus dibuat panik oleh motor tua ini, karena hampir saja keluar tanda-tanda akan mogoknya brebet, seperti seorang kakek-kakek yang  bengek dan batuk-batuk. Jika saja si Bala bisa bicara dia akan berkali-kali minta pensiun dini karena di naiki oleh dua orang yang sama sekali tidak bisa dikatakan langsing!

Kamis, 04 Juli 2013

MIMPI-MIMPI CINDERELLA




            Hai, kenalin nama aku Siti Nurlaela. Teman-teman akrab memanggilku Ela. Terkadang mereka gemas mengobrak abrik namaku menjadi Ela...Ela...E...E...E...Gak punya Umbrella. Itu tuh, mengikuti trend lagu umbrellanya penyanyi asal negara Paman Sam, Rihanna. Ibu ku seorang buruh rumah tangga yang sehari-harinya bekerja menjadi tukang cuci di rumah gedongan komplek perumahan elit Nirwana Permai. Sedangkan bapakku seorang buruh pabrik kelas bawah yang sering kali dihantui perasaan was-was terkena PHK.
            Aku adalah anak kesayangan  ayah dan ibuku. Untunglah rumah kami tak begitu besar seperti rumah-rumah di komplek elit itu, karena Allah yang maha pemurah  hanya menurunkan takdirnya kepadaku sebagai anak tunggal di keluarga ini.
            Sedari kecil, aku punya mimpi menginjakan kakiku di atas karpet megah rumah gedongan tempat ibuku bekerja. Tapi, ibuku selalu melarangnya dengan alasan “Nanti karpetnya kotor. Emak nyucinya makin susah, memang kamu mau emak nggak pulang-pulang gara-gara nyuci karpet seharian?” tegas ibuku saat aku kembali marajuk untuk ikut kerumah gedongan tersebut. Hingga suatu hari aku nekad membuntuti ibuku bekerja. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang. Mengendap-endap bagai maling, melangkah kecil pelan-pelan takut ibu tau kalau aku membuntutinya. Tapi, tetap saja nyali ku menciut saat satpam bertubuh Hercules dan berkumis hitam layaknya sapu ijuk itu mondar mandir di depan gerbang. Ia tak mungkin mempersilahkan sembarangan orang untuk masuk ke rumah gedongan itu.
***
            “Elaaa....!!” teriak Owid sambil berlari tergopoh gopoh ke arahku. Sahabatku yang paling malas berolah raga ini akhirnya berlari juga demi memberitakan satu info penting kepadaku. dahinya di penuhi peluh sebesar biji jagung. Wajahnya klimis akibat keringat yang bercampur dengan matahari yang terik di atas sekolah kami. Nafasnya terenggal-enggal karena jarang sekali ia bergerak. Setiap jadwal olah raga sudah dipastikan Owid akan pura-pura sakit dan menjadi penghuni UKS. Tapi hari ini, tiba-tiba ia menjadi pelari estafet hebat yang membawa segenggam berita untukku.
            “Itu tuh, Nyokap lo jatoh katanya di kejar anjing peliharaannya si Steven,”
            “Apa!?”  Aku pun terkejut mendengar penuturan Owid yang seperti kaleng dipukul dengan benda keras. Cempreng dan berisik sekali. Sungguh tak ada nada indah keluar dari mulutnya. Yang ada hanya kepulan udara tak sedap seperti kentut naga.
            “Nyokap guwe jatoh dimana Wid?”
            “Di depan rumah Steven, tempat nyokap lo bekerja. Cepetan dah elo susul nanti nyokap lo kenapa-napa lagi.” Aku bergegas menyusul ibuku atas saran Owid. Tak butuh waktu lama kaki kecilku dengan lincah menggowes sepeda hingga sampai di depan rumah besar beraksen eropa tersebut.
            “Emak!” teriakku sambil berlari ke arah ibu ku yang terduduk di bangku satpam.
            “Emak nggak papa?”
            “Enggak La, Emak Cuma kaget aja sama anjing baru peliharaannya majikan emak.”
            “Emak dikejar sama anjing itu? dasar anjing! Gak tau diri. Udah tau emak-emak udah beranak satu masih aja di kejar-kejar juga. Emangnya tuh anjing nggak laku-laku apa? Sampai emak guwe di kejar-kejar segala.” Cercahku tak karuan seperti burung beo yang sedang mabuk akibat kebanyakan meminum bensin bersubsidi yang belum diridhoi rakyat penerima bantuan seperti aku.
            “Pak, bapak kan satpam di rumah ini, kok bapak nggak sekalian jagain anjing itu sih?” protesku kepada satpam berkumis pak raden itu.
            “Lah, saya kan di sini kerja jagain rumah bukan jagain anjing.” Betul juga sih pendapat satpam itu. lagi pula seharusnya aku minta pertanggung jawabannya sama si empunya hewan peliharaan sialan ini.
            Akhirnya aku beranikan diri untuk meminta pertanggung jawaban kepada tuan rumah pemilik istana megah ini. Hitung-hitung mewujudkan mimpiku yang pertama untuk menginjakan kakiku di karpet mewah rumah gedongan ini.
            Pak satpam menyuruhku menunggu di luar tapi aku menolaknya dengan alasan aku adalah tamu, dan tamu adalah raja yang harus dihormati. Satpam rumah itu pun luluh dengan alasanku yang terkesan memaksa. Aku pun berhasil masuk ke rumah itu dan akhirnya aku menginjakkan kakiku di karpet mewah yang katanya dibeli langsung dari Eropa Timur. “Alamak!” hatiku berdecak kagum. Mataku menelusuri istana megah ini, kira-kira berapa banyak yah uang yang dihabiskan untuk membuat rumah semegah ini. Jika di tukarkan untuk beli es cendol seharga seribu lima ratus Rupiah pasti Tanjung Priuk akan ikut tenggelam dan menjadi kota di bawah lautan cendol.
            “Heh! ngapain lo disini?” Sebuah suara mengagetkanku. Dari atas balkon rumah ini. Spontan aku menoleh ke arah suara tersebut.
            “Ya Tuhan....dia ganteng banget. Si Bintang muda yang sedang bersinar namanya ini kini berada dihadapanku, dihadapan pengagum gilanya. Aku berhadapan dengan Steven, oh tidaaakk,” ucapku dalam hati terkagum kagum memandangi wajah tampan Steven.
            “Hey, hello are you okay?
            “Iya, iya kak Steven oke oke,” jawabku gelagapan kikuk didepannya.
            “Elo ngapain disini?” Steven bertanya menyelidik. Aku berusaha membenarkan posisi hatiku yang kebat kebit dibuatnya, berusaha memperbaiki mentalku yang tak karuan seperti layangan singit selama beberapa menit.
            “Ehem, gue kesini mau minta pertanggung jawaban sama pemilik rumah plus pemilik binatang peliharaan sialan itu!” tegasku dengan nada sedikit meninggi berusaha setara dengan Steven agar tak ada posisi si kaya dan si miskin.
            “Gue pemilik rumah ini, guwe juga yang punya anjing itu. terus elo mau apa?”
            “Yah...yah mau minta tanggung jawab, karena gara-gara anjing itu emak guwe jadi jatuh,”
            “Loh, kok guwe yang tanggung jawab! Anjing guwe kan di rantai. Emak lo aja yang ke Ge-er-an disangka anjing guwe ngejar-ngejar emak lo,” Steven berusaha mengelak, aku berusaha semampuku agar dia mau bertanggung jawab karena ibuku terjatuh gara-gara ketakutan suara gonggongan anjing yang baru datang itu. Maklum, hewan baru di tempat baru memang butuh banyak adaptasi jadi terkadang sepanjang hari ia harus menggonggong hingga serak.
            “Ok, sekarang elo mau guwe tanggung jawab apa?” tanya Steven padaku
            “Guwe mau, emak guwe dibawa ke rumah sakit karena kakinya pada luka akibat jatuh. Terus, emak guwe dikasih cuti dua hari buat istirahat tapi gajinya nggak dipotong, gimana?” tawarku pada Steven. Penawaran yang tak masuk akal memang, mana ada cuti tapi gaji full, padahal ibu ku juga luka tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Paling, di kasih plester luka juga sembuh. Ini kerjaan aku saja yang memang sengaja ingin dekat dengan Steven. He..he..he..
            “Ok, Baik penawaran lo guwe setujui setelah ini elo pulang dan bawa nyokap lo ke rumah sakit. Biar nanti guwe yang urus administrasi rumah sakitnya.”
            Iyesss ini namanya sekali berlayar satu dua pulau terlampaui. Mimpiku pertama untuk menginjakkan kaki di karpet mewah ini sudah sekaligus berurusan dengan pangeran pemilik istana megah ini, dengan begitu jalan ku untuk berdekatan terus dengannya akan berjalan mulus,” gembiraku dalam hati. Semesta seakan mendukung mimpi sederhanaku yang pertama. Thanks God
***
‘Cinderela itu bukan sekedar isapan jempol tapi itu kisah nyata, betul kah?’
            Aku berjalan menyusuri rumah-rumah elit bergaya eropa ini. Sepi dan sunyi, tembok-tembok kekar menantang, pagar-pagar besi yang tinggi melabelkan kedudukan si pemilik rumah yang terkesan angkuh dan tak mengenal tetangga satu dengan lainnya.
            “Kalau ada orang meninggal didalamnya mungkin nggak ada yang tau kali yah,” fikirku waktu itu. Tapi ternyata aku salah, tidak semua mereka seperti yang aku kira. Buktinya, selama aku sering berurusan dengan Steven sang pangeran pujaanku orang tuanya sangat menyayangiku seperti menyayangi anaknya sendiri. Pantas saja, ibuku betah bekerja di tempat ini bertahun-tahun.
            “Ela, besok sepulang sekolah kamu mampir lagi saja ke sini. Besok Steven pulang dari Road Shownya di Bandung, sekalian kami mau merayakan ultahnya Steven yang ke 17 tahun,”
            “Beneran bu? Saya besok boleh mampir ke sini lagi dan ikut pestanya Steven?” Nyonya besar rumah itu membalasnya dengan senyuman, cantik sekali. Ia benar-benar baik hati tidak seperti ratu-ratu jahat di cerita negeri dongeng.
            Sebenarnya Steven juga baik. Tapi terkadang aku saja yang sering kelewatan, aku terlampau caper bin carmuk dihadapannya. Mangkanya, dia sering kali pusing dengan ulah ke ABG-an ku.
***
            “Selamat ya La, akhirnya bener-bener jadi Cinderella. Elo keluar juga dari jalur kemelaratan ha...ha...ha....” ejek salah satu teman sekolahku. Sial! Lagi-lagi aku dijuluki Cinderella.
            “Tapi setelah jam 12 malam dia kembali lagi jadi upik abu kwkwkwkwkw,” Ingin sekali aku hujamkan bogem mentah ke kepala mereka biar tau rasa.
            “Dih...dih...mendung deh tuh matanya mau turun hujan deres hiks...hiks...kecian” ledek Bayu yang paling menyakitkan diantara ledekan yang lain. Dari pada aku meladeni ejekan mereka kemudian aku jadi ‘monyet’ mending aku tinggalkan mereka dengan ejekan-ejekan basi-nya.
            Hari ini sekolah memang heboh gara-gara paparazi yang berhasil mengabadikan fotoku yang satu mobil dengan Steven di tempel pada mading sekolah. Owid tak kalah histerisnya dengan siswa lain, saking ngefansnya doi sama Steven sampai-sampai Owid  minta topi, kaos dan aksesoris milik Steven kepadaku. itu mah namanya ngerampok!
            Dalam hiruk pikuknya gosip antara aku dan Steven, ada satu siswa yang tak tertarik sama sekali. Abi teman satu kelasku yang pintarnya menyerupai Einstein, Abi itu ibarat pohon yang tegap dan tak gentar dalam cuaca apapun. Ia tetap berdiri tanpa terombang ambing tiupan angin saat yang lain luluh lantah diterjang topan beliung. Dalam trending topik yang ‘gila’ ini saja Abi masih santai dengan buku-buku di tangannya tanpa tergoda. Sesekali ia hanya melirik ke arah mading tanpa ekspresi, dan masih tanpa bicara.
            Abi membenarkan kaca matanya saat beberapa kali aku ketahuan memperhatikannya diam-diam. Bukan, bukan, bukan karena aku menyukainya, Abi jelas bukan tipe aku. Karena dia sama seperti aku, sama-sama melarat! Sama-sama hidup dijalur kemiskinan. Jelas, tidak mungkin lah aku mengharapkan orang seperti Abi yang sebelas dua belas susahnya dengan aku. Pangeran pujaanku tetap Steven, sekali Steven tetap Steven.
            “Ela, lo bengong sambil senyum-senyum sendiri,” tanya Abi tiba-tiba.
            “Eh, emangnya bengongin elo apa! Gak usah Ge-Er deh Bi, elo kira guwe suka sama elo apa,”
            “Ye, guwe cuma nanya kok, elo jawabnya malah nggak nyambung.” Abi menggeleng-geleng kepalanya tak faham dengan sikap ku. Sebenarnya yang ke PD-an itu aku atau Abi yah? Sepertinya aku yang ke PD-an dengan Abi yang aku kira menyukaiku.
            Aku beringsut dari tempatku berdiri, sengaja kutinggalkan Abi yang terbengong-bengong di sana.
            “Maafin aku Abi, sebenarnya aku mengagumimu, tapi...pesona Steven lebih besar dibanding kamu.” Hatiku bertutur jujur.
***
            Pesta Steven berlangsung meriah banyak kalangan selebritis datang memberikan ucapan selamat kepada Steven yang mulai beranjak dewasa di usia yang genap 17 tahun ini. mereka tampil sangat memukau pandangan mata. Cantik, tampan dengan baju dan gaun-gaun indah bak pangeran dan putri raja.
            Aku menghadiri pesta tersebut karena undangan orang tua Steven. Ibuku sudah dari pagi berada di rumah gedongan itu, sedangkan aku menghadirinya saat pesta berlangsung meriah dengan para tamu-tamu undangan. Aku mengenakan gaun yang baru saja aku beli dari pasar loak. Gaun ini, katanya gaun bekas dipakai Gita Gutawa saat acara konser mininya beberapa hari lalu. Gaun bekas pakai yang masih terlihat cantik ini aku beli dengan uang celenganku dua ratus ribu rupiah. Harapanku semoga pemakai lamanya tidak mengenalinya kembali. Jika menghadiri pesta malam ini.
            “Ela, kamu yakin mau ke pesta itu?” tanya Abi yang tiba-tiba saja menghadangku di depan istana milik keluarga Steven.
            “Yakin, emang elo nggak liat guwe udah secantik ini?” balasku cepat. Abi hanya tersenyum tanpa jawab. Satu isyarat mempersilahkan aku untuk lanjut menuju istana megah itu.
            Aku berjalan pasti, dengan gaun baru, sepatu baru, kalung mutiara baru dan cincin permata indah walau semuanya adalah barang bekas dan imitasi. Sekali lagi aku melihat di kaca kecilku, ternyata aku memang cantik bahkan malam ini amat cantik. Aku tersenyum penuh percaya diri. Kususuri anak tangga pualam beralaskan marmer. Sempat aku khawatir terpeleset karena lantai yang terlalu licin ini. mangkanya aku berjalan penuh kehati-hatian. Sambil mengangkat gaunku yang terlampau rempong.
            “Hati-hati ya La, semoga nggak kepeleset dan berhasil wujudkan mimpi-mimpi cinderella!” Seru abi dari luar gerbang. Aku membalasnya dengan senyuman kepada Abi.
            “Thanks Bi.”
            Lantai dansa ruangan pesta yang megah, karpet merah yang sudah lama kuimpikan ini akhirnya menjadi kenyataan. Ribuan pasang mata akan tertuju ke semua peserta pesta yang berlenggak lenggok melewati karpet ini seperti peragaan busana kalangan menangah ke atas yang nyaris sempurna mengagumkan. Aku melangkahkan kakiku dengan pasti. Rambut panjang ikal yang tergerai dengan hiasan pita kupu-kupu berhasil menyulapku dari seorang   upik abu menjadi secantik putri raja.
            Steven terlihat gagah dengan jas abu-abu dicampur celana jeans santai yang ia kenakan. Wajah blesterannya bak roti tawar yang diolesi mentega kemudian dicampur mesis seres ‘yummy banget jadi tak sabar ingin segera memilikimu Steven’.
            “Ela, ini kamu? kamu cantik sekali malam ini....” tutur ibunda Steven kepadaku.
            “Ma...makasih nyonya,” sambutku dengan gembira. Akhirnya dapat lampu hijau dari calon mertua ‘cmiw’. One step closer dalam mewujudkan mimpi-mimpiku.
            Tak banyak berkata aku langsung turun ke arena pesta. Mencoba sejajar dengan para tamu undangan dari kelas menengah. Steven melihatku, ia melempar senyum ke padaku. Aku meleleh dibuatnya dan sempurna tak dapat bergeming. Steven berjalan menghampiriku, yah, dia menghampiriku. Matanya bertemu dengan mataku, lengkap keindahannya. Kini, ia berdiri tepat dihadapanku. Dihadapan orang banyak. Aku membuang senyuman simpul ke arahnya. Semua matapun tertuju kepadaku.
            “E...,” Steven berkata tergugu. Langsung kusambar tanpa basa basi.
            “Iya aku Ela, Steven!”
            “E...Emilia, akhirnya kamu datang juga.”
            What! Emilia?” Spontan aku menoleh kebelakang. Ternyata gadis cantik bak bidadari berada tepat sejajar di belakangku kini. Mata Steven selama ini tak tertuju padaku. Dimatanya hanya ada Emilia gadis cantik yang memang sepadan dengannya. Emilia.
***
            Langkahku gontay menuruni tangga yang berjajar rapi disilimuti karpet mewah ini. hujan rintik-rintik membasahi lantainya yang licin. Hati-hati aku melangkah keluar meninggalkan arena pesta yang masih bergulir.
            ‘plesssstttt...brug!’ aku terjerembab di atas lantai yang licin. Menyakitkan, tapi aku berusaha bangkit dan berdiri walaupun beberapa kali terjatuh lagi karena sepatu yang licin.
            “Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi...” seruku sambil bernyanyi dalam irinngan suara tangis.
             “Bangun La, gadis seperti lo terasa asing jika menangis hanya gara-gara hal sekecil ini.” Sebuah suara yang aku kenal samar-samar terdengar. Aku menengadah ke atas, seorang anak lelaki mungkin dialah pangeran dalam mimpi-mimpiku selama ini. Pangeran yang menguatkanku, yang tangannya terjulur membantuku, tak tampan, namun meneduhkan.
            “Abi...!” Ternyata Abi orangnya. Dialah pangeranku yang membuatku menjadi diriku sendiri, bukan menjadi seorang Cinderella di usia sedini ini. Kini mimpi-mimpiku tergapai sudah. Bukan mimpi-mimpi Cinderella karena cerita Cinderella hanya ada di negeri dongeng bukan di negeri kenyataan. Sedangkan aku, bukanlah Cinderella tapi aku Siti Nurlaela. *selesai*