Minggu, 11 Januari 2015

BERMODAL GENGSI, KURIKULUM PENDIDIKAN GALAU TAK BERTEPI



            5 Januari 2015. Hari yang paling dinanti oleh para guru sekolah dasar di Depok dan sekitarnya. Pagi itu matahari turut menerangi sumringahnya para guru dan murid di salah satu sekolah. Mungkin bukan saja di sekolah tersebut tetapi di semua sekolah yang ada. Hari yang palling dinanti anak-anak untuk kembali bertemu dengan kawan sekolahnya.  Anak-anak dan guru-guru sudah tidak memikirkan lagi aturan tentang kurikulum yang matang secara karbitan. Bukan, bukan guru tidak setuju dengan kurikulum tiga belas peninggalan menteri sebelumnya, tetapi karena ketidak siapan kurikulum ini menjadikan guru, sekolah dan juga murid-murid menjadi tumbal dalam prosesnya.
            Kurikulum 13 yang mengacu kepada disentralisasi pendidikan dengan tematik sebagai ciri khas pada pembelajarannya sepertinya belum mampu menjawab pertanyaan tentang hasil evaluasi pembelajaran. Kita memang sudah lama dengan pembelajaran persubject, evaluasi quantitatif tanpa melirik sedikiit kepada evaluasi afektif. Afektif hanya terekam dalam pelajaran kewarganegaraan saja. Tapi tanpa diukur sampai mana tingkat keberhasilannya. Bahkan pembelajaran bernilai katakterpun sedikit demi sedikit lenyap berganti dengan pembelajaran yang hanya mengedepankan kognitif.
K13 membawa angin segar?
            Hembusan angin segar digadang-gadang akan datang seiring kurikulum 13 di sahkan. Kurikulum yang mengedepankan nilai karakter ini memiliki ciri khas tematik integratif sebagai pusaranya pada pembelajaran sekolah dasar. Pengembangan tema pada porosnya dengan menggunakan tiga pilarpendekatan yaitu  inquary, scientific dan project.
            Pengembangan tema secara sinergi dan integratif dinilai mumpuni menjawab pertanyaan tentang kompetensi dan katakter yang kelak akan dimiliki peserta didik. Dalam hal penilaian, K13 juga memiliki ciri khas evaluasi dibidang qualitatif deskriptif. Guru harus menjabarkan kompetensi siswa sesuai tema yang dikembangkan dalam pembelajatan setiap hari. Secara satu persatu, dan satu pembelajaran dalam buku tersebut diusahakan untuk habis satu hari, agar target ketuntasannya tercapai.
            Sebagian guru memang mempercayai dengan hadirnya K13 ini dapat membawa angin segar untuk pendidikan kita, khususnya sekolah dasar. Karena Sekolah Dasar adalah gerbang emas pembentukan karakter seseorang. Namun, jika melihat realita yang ada di Indonesia, hal ini sangatlah tidak mungkin dilakukan oleh guru-guru khususnya di tataran sekolah negeri. Contoh di Sekolah Dasar dibilangan Cimanggis, satu kelas dan satu wali kelas yang mengajar pembelajaran tematik dengan jumlah siswa yang membludak. Ia harus menilai kognitif, afektif dan psikomotorik siswanya setiap hari karena pembelajaran harus habis setiap harinya agar ketuntasan target tema tercapai. Ditambah, penilaiannya yang persiswa dengan cara deskriptif dan memakan waktu cukup membuatnya kepayahan. Belum lagi administrasi kelas yang juga harus ia kerjakan. Walhasil copy paste menjadi pekerjaan yang dinilai dapat membantu penilaian yang banyak tersebut.
K13 dan evaluasi yang tidak nyambung!
            Kegundahan tidak hanya disitu, ternyata k13 juga menyalahi aturan prinsip pengembangan kurikulum yang ada. Demikian adalah dosa-dosa k13 yang menyalahi aturan prinsip kurikulum :
·        Menyalahi prinsip efektif dan efisien.
·        Melanggar prinsip kontinuitas
·        Melanggar prinsip relevansi
·        Melanggar prinsip praktis pada pengembangan kurikulum
Ditambah lagi, proyek UN yang belum bisa dienyahkan dari muka bumi Indonesia. Semestinya, jika kita mau meneruskan k13 dan ingin menjalankannya, proyek UN haruslah ditiadakan bagi siswa SD. Ditambah lagi, UN yang menjadi ujung tombak evaluasi terkesan tidak seiring sejalan dengan k13. Kurikulum yang karbitan dipaksakan untuk dilaksanakan. Ironi sekali jika semua ini ternyata hanya sebuah proyek untuk membesarkan sepihak dengan menjadikan sekolah sebagai tumbalnya.
CLBK (Curikulum Lama Balik Kembali)
            Carut marutnya k13 akhirnya diselesaikan dengan keputusan menteri terpilih Anis Baswedan yang memutuskan kembali kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Beberapa guru menyambut riuh keputusan ini, namun ada pula yang menyayangkannya karena sekolah terlanjut mengeluarkan dana pelatihan k13 yang tidak sedikit. Namun, anis meminta untuk sekolah yang sudah satu tahun menjalankan k13 untuk meneruskan agar menjadi sekolah percontohan k13. Keputusan anis sangatlah bijak karena memberikan alternatif kepada sekolah yang sudah bertahan satu tahun dengan k13. Namun anehnya, beberapa pihak seakan menentang keputusan Anis dengan tidak mengindahkannya. Bahkan, demi gengsi ada pihak yang sengaja mengumpulkan tanda tangan guru-gurunya bahkan memaksa guru-gurunya untuk melanjutkan k13 tanpa dasat alasan yang jelas dan relevan.
            Kegalauan yang tak kunjung bertepi ini memaksa sebagian sekolah di Depok yang tadinya akan beralih mengikuti keputusan menteri terpilih menjadi kembali pada k13.  Bahkan wali murid pun ikut bersuara karena kebimbangan kurikulum yang diterapkan pemerintah dengan keputusannya seakan ditantang oleh sebagian pemerintah daerah yang menangani bidang pendidikan. Entah gengsi apa yang ada dibenak pemimpin kita tentang kegaluan kurikulum yang tak bertepi. Walaupun begitu, jalan pintas yang ada hanyalah sedikit tidak berfikir tentang kurikulum yang galau tetapi mengupgrade kinerja pendidik yang siap melayani dan memberikan contoh kepada para siswanya dengan senyuman mengembang setiap hari.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar