Kamis, 04 Juli 2013

MIMPI-MIMPI CINDERELLA




            Hai, kenalin nama aku Siti Nurlaela. Teman-teman akrab memanggilku Ela. Terkadang mereka gemas mengobrak abrik namaku menjadi Ela...Ela...E...E...E...Gak punya Umbrella. Itu tuh, mengikuti trend lagu umbrellanya penyanyi asal negara Paman Sam, Rihanna. Ibu ku seorang buruh rumah tangga yang sehari-harinya bekerja menjadi tukang cuci di rumah gedongan komplek perumahan elit Nirwana Permai. Sedangkan bapakku seorang buruh pabrik kelas bawah yang sering kali dihantui perasaan was-was terkena PHK.
            Aku adalah anak kesayangan  ayah dan ibuku. Untunglah rumah kami tak begitu besar seperti rumah-rumah di komplek elit itu, karena Allah yang maha pemurah  hanya menurunkan takdirnya kepadaku sebagai anak tunggal di keluarga ini.
            Sedari kecil, aku punya mimpi menginjakan kakiku di atas karpet megah rumah gedongan tempat ibuku bekerja. Tapi, ibuku selalu melarangnya dengan alasan “Nanti karpetnya kotor. Emak nyucinya makin susah, memang kamu mau emak nggak pulang-pulang gara-gara nyuci karpet seharian?” tegas ibuku saat aku kembali marajuk untuk ikut kerumah gedongan tersebut. Hingga suatu hari aku nekad membuntuti ibuku bekerja. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang. Mengendap-endap bagai maling, melangkah kecil pelan-pelan takut ibu tau kalau aku membuntutinya. Tapi, tetap saja nyali ku menciut saat satpam bertubuh Hercules dan berkumis hitam layaknya sapu ijuk itu mondar mandir di depan gerbang. Ia tak mungkin mempersilahkan sembarangan orang untuk masuk ke rumah gedongan itu.
***
            “Elaaa....!!” teriak Owid sambil berlari tergopoh gopoh ke arahku. Sahabatku yang paling malas berolah raga ini akhirnya berlari juga demi memberitakan satu info penting kepadaku. dahinya di penuhi peluh sebesar biji jagung. Wajahnya klimis akibat keringat yang bercampur dengan matahari yang terik di atas sekolah kami. Nafasnya terenggal-enggal karena jarang sekali ia bergerak. Setiap jadwal olah raga sudah dipastikan Owid akan pura-pura sakit dan menjadi penghuni UKS. Tapi hari ini, tiba-tiba ia menjadi pelari estafet hebat yang membawa segenggam berita untukku.
            “Itu tuh, Nyokap lo jatoh katanya di kejar anjing peliharaannya si Steven,”
            “Apa!?”  Aku pun terkejut mendengar penuturan Owid yang seperti kaleng dipukul dengan benda keras. Cempreng dan berisik sekali. Sungguh tak ada nada indah keluar dari mulutnya. Yang ada hanya kepulan udara tak sedap seperti kentut naga.
            “Nyokap guwe jatoh dimana Wid?”
            “Di depan rumah Steven, tempat nyokap lo bekerja. Cepetan dah elo susul nanti nyokap lo kenapa-napa lagi.” Aku bergegas menyusul ibuku atas saran Owid. Tak butuh waktu lama kaki kecilku dengan lincah menggowes sepeda hingga sampai di depan rumah besar beraksen eropa tersebut.
            “Emak!” teriakku sambil berlari ke arah ibu ku yang terduduk di bangku satpam.
            “Emak nggak papa?”
            “Enggak La, Emak Cuma kaget aja sama anjing baru peliharaannya majikan emak.”
            “Emak dikejar sama anjing itu? dasar anjing! Gak tau diri. Udah tau emak-emak udah beranak satu masih aja di kejar-kejar juga. Emangnya tuh anjing nggak laku-laku apa? Sampai emak guwe di kejar-kejar segala.” Cercahku tak karuan seperti burung beo yang sedang mabuk akibat kebanyakan meminum bensin bersubsidi yang belum diridhoi rakyat penerima bantuan seperti aku.
            “Pak, bapak kan satpam di rumah ini, kok bapak nggak sekalian jagain anjing itu sih?” protesku kepada satpam berkumis pak raden itu.
            “Lah, saya kan di sini kerja jagain rumah bukan jagain anjing.” Betul juga sih pendapat satpam itu. lagi pula seharusnya aku minta pertanggung jawabannya sama si empunya hewan peliharaan sialan ini.
            Akhirnya aku beranikan diri untuk meminta pertanggung jawaban kepada tuan rumah pemilik istana megah ini. Hitung-hitung mewujudkan mimpiku yang pertama untuk menginjakan kakiku di karpet mewah rumah gedongan ini.
            Pak satpam menyuruhku menunggu di luar tapi aku menolaknya dengan alasan aku adalah tamu, dan tamu adalah raja yang harus dihormati. Satpam rumah itu pun luluh dengan alasanku yang terkesan memaksa. Aku pun berhasil masuk ke rumah itu dan akhirnya aku menginjakkan kakiku di karpet mewah yang katanya dibeli langsung dari Eropa Timur. “Alamak!” hatiku berdecak kagum. Mataku menelusuri istana megah ini, kira-kira berapa banyak yah uang yang dihabiskan untuk membuat rumah semegah ini. Jika di tukarkan untuk beli es cendol seharga seribu lima ratus Rupiah pasti Tanjung Priuk akan ikut tenggelam dan menjadi kota di bawah lautan cendol.
            “Heh! ngapain lo disini?” Sebuah suara mengagetkanku. Dari atas balkon rumah ini. Spontan aku menoleh ke arah suara tersebut.
            “Ya Tuhan....dia ganteng banget. Si Bintang muda yang sedang bersinar namanya ini kini berada dihadapanku, dihadapan pengagum gilanya. Aku berhadapan dengan Steven, oh tidaaakk,” ucapku dalam hati terkagum kagum memandangi wajah tampan Steven.
            “Hey, hello are you okay?
            “Iya, iya kak Steven oke oke,” jawabku gelagapan kikuk didepannya.
            “Elo ngapain disini?” Steven bertanya menyelidik. Aku berusaha membenarkan posisi hatiku yang kebat kebit dibuatnya, berusaha memperbaiki mentalku yang tak karuan seperti layangan singit selama beberapa menit.
            “Ehem, gue kesini mau minta pertanggung jawaban sama pemilik rumah plus pemilik binatang peliharaan sialan itu!” tegasku dengan nada sedikit meninggi berusaha setara dengan Steven agar tak ada posisi si kaya dan si miskin.
            “Gue pemilik rumah ini, guwe juga yang punya anjing itu. terus elo mau apa?”
            “Yah...yah mau minta tanggung jawab, karena gara-gara anjing itu emak guwe jadi jatuh,”
            “Loh, kok guwe yang tanggung jawab! Anjing guwe kan di rantai. Emak lo aja yang ke Ge-er-an disangka anjing guwe ngejar-ngejar emak lo,” Steven berusaha mengelak, aku berusaha semampuku agar dia mau bertanggung jawab karena ibuku terjatuh gara-gara ketakutan suara gonggongan anjing yang baru datang itu. Maklum, hewan baru di tempat baru memang butuh banyak adaptasi jadi terkadang sepanjang hari ia harus menggonggong hingga serak.
            “Ok, sekarang elo mau guwe tanggung jawab apa?” tanya Steven padaku
            “Guwe mau, emak guwe dibawa ke rumah sakit karena kakinya pada luka akibat jatuh. Terus, emak guwe dikasih cuti dua hari buat istirahat tapi gajinya nggak dipotong, gimana?” tawarku pada Steven. Penawaran yang tak masuk akal memang, mana ada cuti tapi gaji full, padahal ibu ku juga luka tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Paling, di kasih plester luka juga sembuh. Ini kerjaan aku saja yang memang sengaja ingin dekat dengan Steven. He..he..he..
            “Ok, Baik penawaran lo guwe setujui setelah ini elo pulang dan bawa nyokap lo ke rumah sakit. Biar nanti guwe yang urus administrasi rumah sakitnya.”
            Iyesss ini namanya sekali berlayar satu dua pulau terlampaui. Mimpiku pertama untuk menginjakkan kaki di karpet mewah ini sudah sekaligus berurusan dengan pangeran pemilik istana megah ini, dengan begitu jalan ku untuk berdekatan terus dengannya akan berjalan mulus,” gembiraku dalam hati. Semesta seakan mendukung mimpi sederhanaku yang pertama. Thanks God
***
‘Cinderela itu bukan sekedar isapan jempol tapi itu kisah nyata, betul kah?’
            Aku berjalan menyusuri rumah-rumah elit bergaya eropa ini. Sepi dan sunyi, tembok-tembok kekar menantang, pagar-pagar besi yang tinggi melabelkan kedudukan si pemilik rumah yang terkesan angkuh dan tak mengenal tetangga satu dengan lainnya.
            “Kalau ada orang meninggal didalamnya mungkin nggak ada yang tau kali yah,” fikirku waktu itu. Tapi ternyata aku salah, tidak semua mereka seperti yang aku kira. Buktinya, selama aku sering berurusan dengan Steven sang pangeran pujaanku orang tuanya sangat menyayangiku seperti menyayangi anaknya sendiri. Pantas saja, ibuku betah bekerja di tempat ini bertahun-tahun.
            “Ela, besok sepulang sekolah kamu mampir lagi saja ke sini. Besok Steven pulang dari Road Shownya di Bandung, sekalian kami mau merayakan ultahnya Steven yang ke 17 tahun,”
            “Beneran bu? Saya besok boleh mampir ke sini lagi dan ikut pestanya Steven?” Nyonya besar rumah itu membalasnya dengan senyuman, cantik sekali. Ia benar-benar baik hati tidak seperti ratu-ratu jahat di cerita negeri dongeng.
            Sebenarnya Steven juga baik. Tapi terkadang aku saja yang sering kelewatan, aku terlampau caper bin carmuk dihadapannya. Mangkanya, dia sering kali pusing dengan ulah ke ABG-an ku.
***
            “Selamat ya La, akhirnya bener-bener jadi Cinderella. Elo keluar juga dari jalur kemelaratan ha...ha...ha....” ejek salah satu teman sekolahku. Sial! Lagi-lagi aku dijuluki Cinderella.
            “Tapi setelah jam 12 malam dia kembali lagi jadi upik abu kwkwkwkwkw,” Ingin sekali aku hujamkan bogem mentah ke kepala mereka biar tau rasa.
            “Dih...dih...mendung deh tuh matanya mau turun hujan deres hiks...hiks...kecian” ledek Bayu yang paling menyakitkan diantara ledekan yang lain. Dari pada aku meladeni ejekan mereka kemudian aku jadi ‘monyet’ mending aku tinggalkan mereka dengan ejekan-ejekan basi-nya.
            Hari ini sekolah memang heboh gara-gara paparazi yang berhasil mengabadikan fotoku yang satu mobil dengan Steven di tempel pada mading sekolah. Owid tak kalah histerisnya dengan siswa lain, saking ngefansnya doi sama Steven sampai-sampai Owid  minta topi, kaos dan aksesoris milik Steven kepadaku. itu mah namanya ngerampok!
            Dalam hiruk pikuknya gosip antara aku dan Steven, ada satu siswa yang tak tertarik sama sekali. Abi teman satu kelasku yang pintarnya menyerupai Einstein, Abi itu ibarat pohon yang tegap dan tak gentar dalam cuaca apapun. Ia tetap berdiri tanpa terombang ambing tiupan angin saat yang lain luluh lantah diterjang topan beliung. Dalam trending topik yang ‘gila’ ini saja Abi masih santai dengan buku-buku di tangannya tanpa tergoda. Sesekali ia hanya melirik ke arah mading tanpa ekspresi, dan masih tanpa bicara.
            Abi membenarkan kaca matanya saat beberapa kali aku ketahuan memperhatikannya diam-diam. Bukan, bukan, bukan karena aku menyukainya, Abi jelas bukan tipe aku. Karena dia sama seperti aku, sama-sama melarat! Sama-sama hidup dijalur kemiskinan. Jelas, tidak mungkin lah aku mengharapkan orang seperti Abi yang sebelas dua belas susahnya dengan aku. Pangeran pujaanku tetap Steven, sekali Steven tetap Steven.
            “Ela, lo bengong sambil senyum-senyum sendiri,” tanya Abi tiba-tiba.
            “Eh, emangnya bengongin elo apa! Gak usah Ge-Er deh Bi, elo kira guwe suka sama elo apa,”
            “Ye, guwe cuma nanya kok, elo jawabnya malah nggak nyambung.” Abi menggeleng-geleng kepalanya tak faham dengan sikap ku. Sebenarnya yang ke PD-an itu aku atau Abi yah? Sepertinya aku yang ke PD-an dengan Abi yang aku kira menyukaiku.
            Aku beringsut dari tempatku berdiri, sengaja kutinggalkan Abi yang terbengong-bengong di sana.
            “Maafin aku Abi, sebenarnya aku mengagumimu, tapi...pesona Steven lebih besar dibanding kamu.” Hatiku bertutur jujur.
***
            Pesta Steven berlangsung meriah banyak kalangan selebritis datang memberikan ucapan selamat kepada Steven yang mulai beranjak dewasa di usia yang genap 17 tahun ini. mereka tampil sangat memukau pandangan mata. Cantik, tampan dengan baju dan gaun-gaun indah bak pangeran dan putri raja.
            Aku menghadiri pesta tersebut karena undangan orang tua Steven. Ibuku sudah dari pagi berada di rumah gedongan itu, sedangkan aku menghadirinya saat pesta berlangsung meriah dengan para tamu-tamu undangan. Aku mengenakan gaun yang baru saja aku beli dari pasar loak. Gaun ini, katanya gaun bekas dipakai Gita Gutawa saat acara konser mininya beberapa hari lalu. Gaun bekas pakai yang masih terlihat cantik ini aku beli dengan uang celenganku dua ratus ribu rupiah. Harapanku semoga pemakai lamanya tidak mengenalinya kembali. Jika menghadiri pesta malam ini.
            “Ela, kamu yakin mau ke pesta itu?” tanya Abi yang tiba-tiba saja menghadangku di depan istana milik keluarga Steven.
            “Yakin, emang elo nggak liat guwe udah secantik ini?” balasku cepat. Abi hanya tersenyum tanpa jawab. Satu isyarat mempersilahkan aku untuk lanjut menuju istana megah itu.
            Aku berjalan pasti, dengan gaun baru, sepatu baru, kalung mutiara baru dan cincin permata indah walau semuanya adalah barang bekas dan imitasi. Sekali lagi aku melihat di kaca kecilku, ternyata aku memang cantik bahkan malam ini amat cantik. Aku tersenyum penuh percaya diri. Kususuri anak tangga pualam beralaskan marmer. Sempat aku khawatir terpeleset karena lantai yang terlalu licin ini. mangkanya aku berjalan penuh kehati-hatian. Sambil mengangkat gaunku yang terlampau rempong.
            “Hati-hati ya La, semoga nggak kepeleset dan berhasil wujudkan mimpi-mimpi cinderella!” Seru abi dari luar gerbang. Aku membalasnya dengan senyuman kepada Abi.
            “Thanks Bi.”
            Lantai dansa ruangan pesta yang megah, karpet merah yang sudah lama kuimpikan ini akhirnya menjadi kenyataan. Ribuan pasang mata akan tertuju ke semua peserta pesta yang berlenggak lenggok melewati karpet ini seperti peragaan busana kalangan menangah ke atas yang nyaris sempurna mengagumkan. Aku melangkahkan kakiku dengan pasti. Rambut panjang ikal yang tergerai dengan hiasan pita kupu-kupu berhasil menyulapku dari seorang   upik abu menjadi secantik putri raja.
            Steven terlihat gagah dengan jas abu-abu dicampur celana jeans santai yang ia kenakan. Wajah blesterannya bak roti tawar yang diolesi mentega kemudian dicampur mesis seres ‘yummy banget jadi tak sabar ingin segera memilikimu Steven’.
            “Ela, ini kamu? kamu cantik sekali malam ini....” tutur ibunda Steven kepadaku.
            “Ma...makasih nyonya,” sambutku dengan gembira. Akhirnya dapat lampu hijau dari calon mertua ‘cmiw’. One step closer dalam mewujudkan mimpi-mimpiku.
            Tak banyak berkata aku langsung turun ke arena pesta. Mencoba sejajar dengan para tamu undangan dari kelas menengah. Steven melihatku, ia melempar senyum ke padaku. Aku meleleh dibuatnya dan sempurna tak dapat bergeming. Steven berjalan menghampiriku, yah, dia menghampiriku. Matanya bertemu dengan mataku, lengkap keindahannya. Kini, ia berdiri tepat dihadapanku. Dihadapan orang banyak. Aku membuang senyuman simpul ke arahnya. Semua matapun tertuju kepadaku.
            “E...,” Steven berkata tergugu. Langsung kusambar tanpa basa basi.
            “Iya aku Ela, Steven!”
            “E...Emilia, akhirnya kamu datang juga.”
            What! Emilia?” Spontan aku menoleh kebelakang. Ternyata gadis cantik bak bidadari berada tepat sejajar di belakangku kini. Mata Steven selama ini tak tertuju padaku. Dimatanya hanya ada Emilia gadis cantik yang memang sepadan dengannya. Emilia.
***
            Langkahku gontay menuruni tangga yang berjajar rapi disilimuti karpet mewah ini. hujan rintik-rintik membasahi lantainya yang licin. Hati-hati aku melangkah keluar meninggalkan arena pesta yang masih bergulir.
            ‘plesssstttt...brug!’ aku terjerembab di atas lantai yang licin. Menyakitkan, tapi aku berusaha bangkit dan berdiri walaupun beberapa kali terjatuh lagi karena sepatu yang licin.
            “Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi...” seruku sambil bernyanyi dalam irinngan suara tangis.
             “Bangun La, gadis seperti lo terasa asing jika menangis hanya gara-gara hal sekecil ini.” Sebuah suara yang aku kenal samar-samar terdengar. Aku menengadah ke atas, seorang anak lelaki mungkin dialah pangeran dalam mimpi-mimpiku selama ini. Pangeran yang menguatkanku, yang tangannya terjulur membantuku, tak tampan, namun meneduhkan.
            “Abi...!” Ternyata Abi orangnya. Dialah pangeranku yang membuatku menjadi diriku sendiri, bukan menjadi seorang Cinderella di usia sedini ini. Kini mimpi-mimpiku tergapai sudah. Bukan mimpi-mimpi Cinderella karena cerita Cinderella hanya ada di negeri dongeng bukan di negeri kenyataan. Sedangkan aku, bukanlah Cinderella tapi aku Siti Nurlaela. *selesai*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar