I
ni
hari emang hari paling konyol dalam seminggu ini. Kenapa aku bilang dalam
seminggu karena dalam sebulan sering kali aku mengalami hal konyol dengan
berbagai varian rasa. Wedeh...varian rasa, kaya jualan makanan ada strawberry,
mellon, cincau, pare sampe empedu. Loh? Semakin ke sini kenapa kekonyolannya
semakin pahit ya? Akrena hidup itu gak semua manis kadang manis, pedas, kadang
sepet, bahkan pahit seperti pare.
Selasa, 16 Juli 2013
“Siapa
yang mo ikut akooohh??” teriakku di kantor sekolahan. Profesiku sebagai guru
muda, yang katanya masih ababil mengenalkanku pada dunia mikro kehidupan ini.
“Ikut
kemana jeng?” tanya salah satu rekan kerjaku bernama wiwi.
“Ikut
ke bank yuk nyetor,” ajakku padanya.
“Berarti
aku dapat uang ongkos nemenin doong?” jawab wiwi sumringah. Mereka memang
manganggapku banyak uang. Alhamdulillah sih, bersyukur saja aku memang serba
kecukupan setiap mau beli ini dan itu rasanya Allah mencukupinya bahkan
terkadang menambahkan dengan cara yang tidak kita kira. Lagi-lagi bukan karena aku
banyak uang tapi karena mungkin imbas dari rasa syukurku selama ini.
“Lah,
pake minta ongkos kan saya mau nyetor ke WC,” jawabku datar kepada wiwi dan
disambut dengan wajahnya yang inocent itu memanyunkan bibir tipisnya. Aku
terbahak melihat wajahnya yang semula cantik seperti alisa subandono berubah
menjadi omas wati. Jauh banget kan ngejatuhinnya.
Yup,
niat pertama setoran ke bank ajaib itu selesai. Aku pun bersiap-siap untuk
berkelana sambil ngabuburit menunggu maghrib. Akhirnya aku lempar lagi
pertanyaan yang sama seperti tadi.
“Siapa
yang mau ikut akoooh???” Semua tak ada yang bergeming. Mereka nampaknya sudah
malas dengan kejailanku sebelumnya.
“Serius
nih...mau ngabuburit. Aku mau ke Gramedia Depok,” tuturku sambil merapikan tas
ranselku siang itu.
“Guwe
ikut Vi, guwe ikut!” seru April dengan gaya ramainya yang seperti pasar pindah.
Temen aku yang satu ini memang sedikit gokil bin picicilan. Di sekolah
sebenarnya nggak boleh ngomong guwe karena pada aturan mainnya seperti itu.
tapi, wanita yang sebenarnya anggun ini sering kali keceplosan kalau sedang
bicara dengan aku atau teman-teman lainnya. April juga hobi jalan-jalan hingga
sekarang, ditambah partner kerjanya dari dulu semenjak ditempati di sekolah ini
selalu dengan anak-anak muda yang jomblo tapi bahagia hobi ngebolang macam aku.
Padahal udah emak-emak dengan anak satu. Seakan tak ingat dengan statusnya
sebagai seorang ibu, April dengan semangat ikut aku berkelana menjelajah
margonda yang metropolis.
“Ya
udah yuk, tapi nanti pulangnya gimana?rumahku kan jauh banget,” tanyaku
“Ya elah kaga usah rempong deh sekarang banyak
angkot dimana-mana, suami aku juga pulangnya malem kaanya mau main futsal
dulu.”
“Okelah,
kita cabut, cuss ke Gramedia” ajakku semangat.
***
Gramedia Depok, 14.00 AM
Sampai
di basement toko buku terbesar di kota Depok. Sepanjang jalan tadi, kami
berbicara banyak hal dari masalah penempatan wali kelas, anak-anak hingga
bicara bumbu dapur yang naiknya drastis melonjak kaya manjat tebing ngos-ngosan
kalau liat struk belanjaan yang mahalnya bikin kepala sampai botak. Dalam
parkiran UG Gramedia, sempat-sempatnya April meledek bapak satpam yang
cemberut. Sampai aku tertawa geli dengan banyolan isengnya. Karena saking,
konsentrasinya aku tertawa sampai-sampai salah masuk parkiran mobil. Mataku
memang agak-agak siwer, padahal kacamatanya sudah tebal. Hampir saja aku lurus
masuk ke perkiran mobil-mobil di parking area. Buru-buru aku membelokkan kuda
besiku untuk berbalik arah dan turun ke tempat parkir paling bawah. Lalu
memarkirkan motorku disitu.
“Aduh...enak
yah siang gini kalau ada es?” kataku.
“Gila
lu Vi, Istighfar!” serunya terkejut.
“Maksudnya
esyamsi wa dhuha ha...” jawabku
dengan membaca awalan surat Asyams itu. Tangan April spontan menoyor kepalaku.
Sesampainya
kami di dalam gedung toko buku, aku menuju
rak buku horor. Niat ku memang ingin mengececk keberadaan buku terbaruku
yang sudah mulai dipasarkan di toko-toko buku. Beberapa buku horor yang sepadan
dengan bukuku juga bertengger di sisi kanan dan kirinya. Mulai cerita hantu
Jakarta, horo 13 yang covernya kata teman sekomunitasku bilang “Covernya
idiiiihhh banget” hingga cerita horor kejahatan.
Aku
mengambil salah satu buku diantaranya lalu kubaca sebagiannya. Sungguh, aku
penasaran dengan buku horor yang katanya covernya idiiih banget itu. tapi,
sayangnya itu buku belum ada yang dibuka plastiknya. “Ini tanggal tua
cyiiinn...lagi nggak ada post untuk beli buku di tanggal segini.” Gumamku dalam
hati. Akhirnya aku cukup menikmati jejeran cover-covernya saja dengan mata
empatku.
Tak
cukup disitu, setan dikepalaku membisikan aku untuk membuka salah satu
covernya. Tapi dilain hal, aku kan tak berniat untuk membelinya. Kalau aku
rusak plastiknya aku takut ketahuan dari CCTV dan satpam-satpam itu. Tanganku meraih ragu-ragu buku horor 13 itu, belum
ada satu pun plastiknya yang terbuka. Bahkan secara nakal, tanganku mulai
menggesek-gesek keras plastik buku tersebut agar terlihat ketidak sengajaanku
yang konyol ini.
“Permisi
mbak, saya mau ambil bukunya,” kata seorang lelaki yang aku taksir masih kuliah
di semester-semester pertama ini. ‘wedehh brondong’ . Lelaki itu mengambil
salah satu buku yang memang aku incar dengan santainya. Tangan lelaki itu masuk
kedalam rak hingga ketengah-tengah tumpukan buku-bukunya dan hap! Ia berhasil
mengambil dan membawa buku yang telah telanjang tanpa sampul plastik.
“Tuh,
kan elo sih oon,” kata temanku April.
“Biasanya
itu kan ada ditengah-tengah,” April mengomentari keculunanku hari itu.
***
“Lama-lama
guwe pegel Vi.”
“Ya
udin deh duduk aja sana cari di pojokan,” kataku pada ibu beranak satu ini.
tanpa berlama-lama aku dan April mencari tempat PW atau Posisi Wenak yaitu di
pojok belakng rak di depan kaca jendela toko. Posisi tersebut memang posisi
yang paling favorite bagi para pembaca-pembaca kere akhir bulan seperti ku. Rasa
hati ingin beli buku tapi dewi rupiah sedang tidak berpihak pada dompet-dompet
di tanggal-tanggal tua.
Aku
berlari kecil menuju tempat PW tersebut. syukur-syukur tidak ramai seperti
jalanan margonda. Aku melongok ke
belakang rak di pojokan yang aku tuju.
“Innalillahi...”
kataku dalam hati. Takjub melihat pengunjung di toko buku ini yang setengahnya
ternyata ada di tempat PW ini.
“Kaya
pepes Pril, pada selonjoran di lantai,” bisikku pada April. April pun terkekeh geli
melihat pemandangan kampung nelayan dengan jejeran ikan teri yang dikeringkan
oleh panas matahari seketika pindah ke dalam toko buku gramedia ini.
Aku
pun ikut serta dalam pemandangan itu. semoga tak ada kamera pengintai atau
CCTV. Karena jika ada, aku akan menjadi ikan buntal diantara pepesan ikan-ikan
teri ini. Maklum, saat aku lihat-lihat bodyku paling seksehh diantara yang
lain.
Semenit
dua menit hingga sepuluh menit berlalu dengan santainya. Buku yang kubaca pun
hampir di bab ke tiga. Wihi cepet banget. Itu baca buku apa cuma kebat kebet
doang yah?
“Maaf,
silahkan pindah ditempat lain, dilarang baca buku di atas lantai!” seru satpam
berbadan tinggi berkulit agak gelap kepada kami yang berada di tempat PW itu. “lagi
enak-enak juga...-iya deh ganggu kesenangan aja nih satpam.” Seru beberapa
orang yang berada disitu.
“Baru
kali ini guwe diusir secara terhina ama seorang satpam kaya begini,” gumamku
dalam hati. Mana diliatin banyak orang, lagi puasa, laper. Haduuhh bener-bener
nasib!!!
Setelah
aku puas membaca beberapa buku saat kejadian tadi, segera aku ajak April untuk
pulang. Lelah, kelaperan, kucel, pegel-pegel sampai wajah penuh minyak menambah
kusutnya kejadian siang itu. Mungkin, minyak diwajah ini bisa jadi energi
alternatif pengganti minyak goreng atau bensin premium. kemudian aku dan April turun menggunakan eskalator yang bentuknya sangat imut. saking capeknya, April mengajakku duduk di eskalator yang sedang berjalan turun tersebut. spontan aku ikuti saja petuahnya karena aku pun kelelahan dan betis ku membengkak akibat menggunakan sepatu yang ada hells'nya. sambil memencet-mencet keypad balck berry dan memelototi layarnya dengan serius, aku tak sadar eskalator sudah sampai bawah dan seharusnya para pengguna keluar dari eskalator tersebut. namun, aku masih tak sadar sehingga tubuhku tak bisa berdiri dan hampir terjepit kemudian terjerembab di ujung eskalator yang masih berjalan. sedangkan April tanpa berdosa mentertawakan aku yang masih sulit berdiri. -____-
Aku
beranjak pergi dari toko itu. Membayar parkir motor yang wajah penjaganya
ditekuk tanpa senyum, persis seperti uang seribuan yang lecek.
“Senyum
dikit napa mas....” April si emak-emak rempong ini lagi-lagi menggoda jahil
petugas loket parkir tersebut.
“Kualat
loh Pril, nanti doai nggak redo.” Jawabku sekenanya. Masa bodo dengan
komentarku. Baginya petugas jasa itu yah harus tampil apik dengan senyum. Akhirnya
aku mencoba meng-gas si kuda besi itu setelah selesai urusan pembayaran parkir
tadi.
Jalanan
keluar dari parking area gramedia
menanjak. Ku nyalakan motorku yang sebelumnya mati secara tiba-tiba lalu
meng-gasnya tanpa mengontrol posisi gigi ada di gigi satu, gigi dua atau gigi
rontok.
‘BREEM!!’
“E...e...mundur
Pril, mundur Pril, nggak kuat nanjak, nggak kuat nanjak!” seruku panik. April
yang duduk di belakang boncenganku sama paniknya dan segera turun. Mobil mewah
dengan pengendara yang wajahnya mewah juga dibelakang motorku yang akan keluar,
membunyikan klaksonnya tak sabar. Mereka pun panik karena takut mobilnya
terkena bamper belakang motorku yang dekil ini. Takut kena virus sial, apa kena
virus konyol kali yah...hehehe. Arpil lalu berjalan hingga ke atas sambil
sumpah serapah seperti nenek-nenek yangn kehabisan sirih.
Aku
dan April pulang ke rumahku. Niatnya ia akan kerumah saudaranya di sukmajaya. Tapi,
karena orangnya nggak ada jadilah dia ikut denganku pulang kerumah. Sore ini
aku juga ada janji dengan Rita, teman lamaku yang punya butik kecil. Aku berniat
untuk membeli baju kepadanya. Aku ajak saja April sekalian, siapa tau dia
tertarik untuk beli baju.
Aku
jalankan motorku ke rumah Rita sambil beberapa kali tanya sana dan tanya sini. Tapi
sesampainya di dekat rumah Rita.
“Maaf
Vi, guwe adanya jam lima.”
“Yaa,
padahal guwe udah deket rumah lo Rit,” jawabku lemas. Aku pun membelokan
motorku pergi menuju jalan pulang. Dalam perjalanan, beberapa kali April
mengeluh.
“Kalau
disuruh balik lagi guwe keder Vi liat jalanan komplek,” Tuturnya padaku.
Sesampainya
dirumah, aku ajak April solat dan segera menyiapkan buka puasa. Tukang es
campur tujuan pengembaraan kita kali ini. beli es campur untuk buka puasa
dengan ibuku. Aku pun segera pamit dan pergi mencari keberadaan es campur itu.
jalanan komplek yang mavet dengan pedagang di pinggir kanan kiri jalan hingga
kendaraan yang diparkir sembarangan membuat jalanan ini mampet kaya selokan
depan rumah yang mengakibatkan banjir.
Setalh
mendapatkan es campur, aku kembali kerumah Rita. Suasana menjelang maghrib,
fikirku akan keburu sampai di rumah pas maghrib tiba, tapi ternyata aku justru
mendadak buka puasa di rumah Rita karena sampai lokasi rumahnya tepat ketika
azan berkumandang. Berasa minta bukaan puasa sama Rita. Malunya tingkat benua
asia. Tambah lagi aku dan April disangka mau priksa hamil lagi maghrib-maghrib
mentang-mentang badanku ‘langsing’ #ups. Akhirnya aku bertemu Rita yang sudah
hampir belasan tahun nggak ketemu. Rita temanku itu pindah saat kita mau naik
ke kelas dua SD. Nah, sejak itu ia benar-benar hilang dari peredaran. Dunia blackberry
akhirnya menemukan kami kembali dalam kondisi yang berbeda. Rita yang dahulu
jutek bin judes sekarang telah bermetamorfosa menjadi seorang wanita yang
anggun walaupun Allah belum mempercayainya untuk memiliki seorang buah hati
setelah dua tahun menikah.
Kekonyolan
tak sampai disitu. Setelah urusan aku dan Rita selesai, kami pergi pulang. Kasihan
ibu dirumah buka puasa sendirian. Jalanan keluar dari rumah rita itu melewati
tanjakan curam dengan tiga level yanng berbeda-beda. Pokoknya tanjakan itu
kadang buat para pengandara yang nggak bisa mengontrol gigi motornya was-was
takut nggak bisa naik. Khususnya bagi para pengendara motor pemula. Sampailah aku
di tanjakan tiga level tersebut. dengan hati was-was, aku merapalkan doa-doa
mensugesti diriku dan motorku untuk kuat nanjak. Gigi motor telah aku kontrol
sebaik mungkin, sayangnya yang kupakai kali ini bukan motorku, melainkan motor tua
adikku yang dijuluki ‘si Bala’karena sering kali mogok dan ngadat tiba-tiba. Aku
memegang pegangan gas ‘si Bala’ dengan penuh konsentrasi, sugesti dan doa-doa
agar kejadian tadi siang tak terulang kembali di sini. Tapi, dalam
perjalanannya, beberapa kali aku harus dibuat panik oleh motor tua ini, karena
hampir saja keluar tanda-tanda akan mogoknya brebet, seperti seorang kakek-kakek yang bengek dan batuk-batuk. Jika saja si Bala bisa
bicara dia akan berkali-kali minta pensiun dini karena di naiki oleh dua orang
yang sama sekali tidak bisa dikatakan langsing!
Ha ha ha pengalaman miss di gramedia, mirip dengan saya dulu..bersila di lantai gramedia buat baca buku...baca sambil curi pandang ke bapak satpam, sebelum ditegur, buru-buru bangun duluan..he he he.
BalasHapusBTW kalau miss hobby baca saya kasih link yang bagus nih, mau DL buku, komik, majalah apa aja ada..ini linknya http://www.zonadjadoel.com/
Uniknya, beberapa buku yang ingin kita DL, musti posting komen dulu...
Semoga bermanfaat.
Bapak Kinasih