Rabu, 20 Februari 2013

SAHABAT HUJAN



Butiran air bening yang jatuh  bercerita untuk sore yang berpelangi. Saat lembayung yang mengusir siang mulai memerah, aku hadapkan wajahku pada sudut jendela yang masih basah karena hujan. Hujan yang membawa kisahmu hadir dalam ingatanku untuk kembali merajut mimpi disini. kaki telanjang tanpa alas beberapa tahun lalu yang terus berlarian di jalanan yang basah, payung warna warni dan awan mendung yang kini berubah menjadi atap langit bermatahari.  Aku tersenyum ketika seorang bocah menawariku ojek payung di suatu sore sekembaliku dari sekolah
“payung mas? “ tanyanya kepadaku sambil menyodorkan aku sebuah payung berwarna merah. Aku meraih payung dari tangan kecilnya yang kurus. Lagi-lagi aku teringat momment ini. entah apa kamu masih mengingatnya? Saat aku temukan tubuhmu menggigil kedinginan di bawah rinai hujan, dan saat itu pula aku mulai mengenalmu lebih dari yang kau kira beberapa tahun yang lalu
***
11 Januari 2001
“payung mas” . tanyamu saat itu. Aku meraih payung dari tanganmu. Sementara kau biarkan tubuhmu basah terguyur derasnya hujan. Berlarian.
“terima kasih yah” ku kembalikan payung merah milikmu sambil kukeluarkan selembar sepuluh ribuan dari kantong celana SMA ku.
“wah, ada uang pas saja mas?” tanyamu kembali.
“sudah ambilah buat jajan”. Aku melihat senyumanmu yang riang sore itu. Sore dengan derasnya hujan yang mengguyur Jalan Nusantara Depok 1. Kau berlari berhamburan bersama teman-teman seprofesimu sebagai seorang ojek payung.
            Hari-hari selanjutnya aku semakin sering melihatmu berdiri didepan gerbang sekolahku. Entah apa karena aku atau karena ada hal lain. Pastinya saat hujan datang aku selalu melihatmu dari kelasku yang berada di lantai 3. Sering kali kau lambaikan tanganmu dengan mengukir senyuman diwajah polosmu. Berupaya agar aku mendekatimu, meraih payungmu dan memberikan uang recehan kepadamu. Lalu kau tinggalkan jejak penasaran yang terus menerus tumbuh dalam diriku.
“payung kak?” tanya seorang anak kecil disebelahmu.
“gak usah, kita main hujan-hujanan aja sekalian dengan kakakmu bagaimana?” tanyaku kembali menawarkan. Kau menganggukan kepalamu penuh semangat tanda setuju. Begitupula anak kecil disebelahmu yang ternyata dialah adikmu. Kita berlarian dibawah derasnya hujan. Tanpa payung yang melindungi diri kita, tanpa canggung juga kau menceritakan bahagiamu saat hujan datang. Aku semakin kagum denganmu walau hingga saat itu aku belum tau namamu.
            Aku memberanikan diri mengajakmu makan bakso di kedai dekat sekolah., tempat favorite aku dan Jodi sahabatku mangkal sebelum Jodi pindah sekolah. awalnya kau terlihat canggung, walau aku tau sebenarnya kau menerima tawaranku. Hingga akhirnya kau mengiyakan juga untuk makan bakso denganku sore itu
“ oh iya, nama loe sebenarnya siapa sih? Kok teman-teman loe manggil nya cil ”  tanyaku memberanikan diri.
“kenalkan namaku riang. kepanjangannya riaaaaaaaaaang hahahaha” jawabmu sambil tertawa.
 “Nama yang cantik seperti pemilik namanya”. Bisikku dalam hati.
“aku dipanggil cil, karena tubuhku kecil padahal usiaku tidak seperti yang mereka kira”
“hmm” aku mendengar ceritanya panjang lebar mulai dari usianya yang ternyata sama denganku hanya beda 2 bulan saja aku lebih tua darinya. Tempat tinggalnya kini, dan mengapa ia tidak bersekolah saat ini. aku yakin, sebenarnya Riang gadis yang riang seperti namanya tapi dia juga gadis yang cerdas, hanya kondisi saja yang kali ini belum berpihak padanya.
“berarti bulan depan usia loe tepat 17 tahun?” tanyaku pada Riang
“yup, betul banget”
“ya udah loe manggil guwe Rizal aja, gak usah pake kakak, guwe juga seumuran sama loe”
“oke lah Rizal, namamu bagus”. Serunya memujiku, ia melemparkan senyumannya kembali. Senyuman yang hingga saat ini tak pernah aku lupa.
27 Januari 2001
            Hujan kembali membasahi jalanan depan sekolah, semua terguyur merata. Awan mendung menyelimuti jalan Nusantara dan sekitarnya. Inilah saat yang paling aku tunggu, saat hujan datang. Saat aku kembali bertemu keceriaan dari seorang Riang yang gembira saat hujan turun. Aku tengah terbiasa dengan kehadiranmu di gerbang sekolah ini. seakan kau menjemputku bahkan bukan hanya diriku tapi hatiku yang ternyata  tersangkut pada payung merahmu.
“Rizal...!!!” serumu setengah berteriak sambil melambaikan tangan. Tak banyak bicara aku langsung turun kebawah menghampirimu.
“main hujan-hujanan lagi??” tanyaku semangat
“ayo” sambutmu dengan menarik tanganku menerobos hujan sore itu. Berbasah-basahan. Berlarian dibawah derasnya hujan yang membasahi Depok dan sekitarnya. Tak peduli dingin yang mendera kala itu. Entah mengapa aku sangat bahagia melihat lukisan senyum diwajah manismu Riang. serasa cerita dalam fil-film bollywood yang bermain dibawah rinai hujan. Walau aku tau tas dan buku sekolahku basah semuanya aku tak peduli. Hingga saat itu pun tiba
“Rizaallll awas!!!!” teriakmu disore itu untuk terakhir kali dibawah guyuran hujan
“braakkkk!!”
‘Gelap’
 ***
30 Januari 2001
Entah dimana aku kini, sudah mati, atau setengah mati atau aku hidup dialam lain, apakah ini alam akhirat yang sering aku pelajari dalam pelajaran agama islam di sekolah? tidak, tidak tidak mungkin aku mati sedini ini. lalu ruang serba putih ini apa?. Aroma obat-obatan menyeruak masuk kedalam rongga hidungku, kepalaku terasa berat dan amat sakit. Apa yang terjadi?. Kakiku? Kakiku juga terasa nyeri dan sulit digerakan. Ya Allah, entah berapa lama aku tak memanggil namaMu. Seingat aku waktu kecil dulu aku sering menyebut namaMu saat shalat dimasjid hingga aku beranjak SMA dan tak tau kemana lagi Allahku berada. Apa aku terlalu lama meninggalkanMu sehingga KAU juga meninggalkanku? Saat kepayahanku seperti ini. aku baru teringat lama sekali tak membasuh wajahku dengan air-air yang disucikan untuk berwudhu. Pandanganku buram saat ini. tak jelas, semua yang ada seperti fatamorgana saja. Entah siapakah ini yang aku lihat. Tak jelas. Kupejamkan mataku kembali dan kedua kelopak mataku tertutup lagi. Aku biarkan indera pendengaranku yang saat ini bekerja. Semoga saja dapat maksimal untuk waktu yang tak menguntungkan ini
“Rizal” terdengar suara berbisik ditelingaku, suara yang sejujurnya pernah kukenal. Entah kapan
“masih berani kamu kesini!?” sedetik kemudian suara mamah muncul setengah meninggi. Aku masih memejamkan mata, berusaha merekam semua yang terjadi diruangan penuh aroma obat ini.
“maafkan saya tante, tolong izinkan saya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya dan melihat keadaan Rizal untuk sekali saja. Setelah itu saya akan pergi menjauh dari kehidupan Rizal. Saya mohon tante, saya mohon” pinta seorang gadis yang lebih dahulu menyapaku tadi. Aku berusaha mengingat kembali suara itu sebelum hari ini. tapi, semakin aku mengingatnya semakin terasa nyeri dikepalaku. Aku tak mau ambil resiko lebih besar. Aku ingin hidup lebih lama lagi.
“gak ada lagi yang bisa kamu jelaskan, semua sudah jelas, kalau sore itu kamu gak mengajak Rizal main hujan-hujanan dan kecelakaan itu gak akan pernah terjadi” suara mamah meradang ada getaran seperti tangis yang tertahan.
“saya mohon tante, kalau tante gak mau denger penjelasan saya. biarlah waktu yang menjelaskan semuanya dan untuk terakhir kalinya izinkan saya melihatnya setelah itu saya akan pergi menjauh”
‘baiklah, setelah itu keluar kamu dari sini dan jangan mengganggu Rizal lagi” suara mamah mulai sedikit tenang. Terkadang mamah memang bijak, walaupun diwaktu-waktu yang sulit seperti saat ini. ia mudah sekali kalah dengan situasi. Kalap dan terkadang tak terkontrol emosinya, apa mungkin ini imbas dari kasih sayangnya yang berlebiihan kepadaku? Entahlah.
“Rizal, Riang pamit. Cepet sembuh yah, jangan lupa shalat” kalimat terakhir yang aku ingat ‘jangan lupa shalat’ sungguh menggetarkan. Aku berusaha membuka mataku dan melihat malaikat sejenis apa yang membisikan ini kepadaku. Ketika ia menyebutkan namanya Riang, seakan sangat akrab dengan nama ini. entah dimana. Namun, lagi lagi hanya pandangan buyar yang aku dapati dalam pandangan mataku. Aku berusaha membuka mata lebih lebar namun terlambat ia tengah menjauh. Mamah lebih dulu mengusirnya dari ruangan ini.
Entah sudah berapa lama aku tak mendengar orang dekatku mengajakku untuk shalat. Termasuk mamahku pun tak pernah memerintahkan hal ini kepadaku. Aku hanya tau perintah tersebut dari guru agama di sekolah. Payahnya aku tak pernah suka dengan pelajaran Agama tersebut. aku tak menemukan apa yang aku dapatkan dari pelajaran tersebut. hanya ceramah dan ceramah yang memekakan telinga padahal apa yang dikhutbahkan guru agamaku disekolah berbeda sekali seperti apa yang ia lakukan untuk dirinya sendiri. Munafik.
Hari-hari membosanka aku jalani diruangan ini. ruangan VVIP dengan segala perlengkapan yang serba ada. Namun tetap saja aku tak menikmatinya. Tubuhku lemah diatas tempat tidur ini dengan selang infus dan perban yang masih setia menemani. Kakikupun masih sulit digerakan.
“ayo zal, kamu pasti sembuh dan pulih seperti sedia kala” ucapku lirih dalam hati. Menyemangati diriku sendiri
            Aku seperti tak punya daya apa-apa. Jangankan untuk mengejar malaikat bernama Riang itu, berdiri saja aku memerlukan bantuan orang lain. Aku kepayahan dalam ketidak berdayaanku. Seperti mayat hidup yang menunggu ajal. Hidupku kelam saat ini atau mungkin untuk selamanya. Emosiku semakin tidak stabil. Aku menjadi temprament. Terlebih lagi ketika dokter memvonis aku lumpuh.  Masa depanku suram. Mengapa tak KAU ambil saja nyawaku tuhan. Agar aku tak menderita didunia? Apa ini hukuman dariMU karena aku terlalu lama meninggalkanMu?
             Aku tau betapa hancurnya mamah ketika tau aku lumpuh. Aku anak satu-satunya yang kelak akan menjadi kepala keluarga, yang kelak akan menjaga mamahku sendiri. Tapi tuhan berkata lain, walaupun aku menggugat hingga ke depan tahtanya, tetap saja takdir ini sudah tertulis dan cerita ini akan aku alami dalam lembar kehidupanku.
            2 minggu sudah aku di sini. Menunggu kepastian pengobatan berikutnya. Aku ingin kembali keduniaku sebenarnya, walaupun harapan kembali kepada kehidupanku yang dulu amatlah tipis.
“kapan aku pulang sus?” tanyaku pada perawat berjilbab disampingku. Matanya tak luput dari kantung infus yang tergantung pada tiang di pinggir tempat tidurku.
“ kalau sudah membaik pasti bisa pulang kok mas Rizal” jawabnya sambil tersenyum. Masih dengan mata yang tak lepas dari kantung infus  
16 Februari 2001
            Hari yang aku tunggu akhirnya datang. Aku keluar dari hotel penderitaan ini. berkemas dan kembali dirumahku yang lama tak aku jumpai. Kamarku yang penuh poster team bola kelas dunia. Hingga karakter kartun favoritku terpajang rapi didinding kamar dengan jendela besi berwarna natural.
            Hujan kembali mengguyur tanah yang gersang. Ia juga menemaniku dalam sepi, derasnya mengingatkanku pada suatu waktu yang terlupakan, entah kapan. Memoriku berusaha mengingat hari sebelum ini.
“arrghhhhh!!!” semakin aku berusaha mengingat, semakin sakit kepalaku.
“mas Rizal, mas Rizal kenapa?”
‘ambil obatku bi, cepat ambil obatku”
“iya, ini mas rizal” seru bibi dengan paniknya
“haduuh mana nyonya gak ada lagi”
“hah...syukurlah”
“sudah mendingan mas Rizal?”
“iya bi lumayan. Tolong jangan beri tau mamah ya bi” seruku memohon
“loh,,yah harus dikasih tau ke mamahnya mas Rizal, kalau nanti sakitnya semakin parah bagaimana?”
“bi, dengar yah, sekali saya bilang diam yah diam gak usah beri tau siapapun!”  ujarku tegas sambil menatap ke arah bi Ina
“ba...ba...baik mas Rizal”
“sekarang bibi boleh keluar dari kamar!” perintahku segera kepada wanita yang bertahun-tahun bekerja pada keluargaku sejak aku masih kecil.
            Hujan kembali mengguyur bumi, membasahi jalanan yang terpanggang matahari. Saat hujan inilah aku merindukan seseorang yang pernah menancapkan sejuta kenangan. Aku menyukai hujan sebagaimana dulu aku pernah bersahabat dengan hujan. Bersahabat dengan para sahabat hujan, yang bersorak sorai saat hujan datang. Walaupun bahagianya saat hujan datang demi kepingan rupiah yang mungkin tak seberapa harganya bagi orang lain.
***
           
27 Mei 2004
Tiga tahun lebih lamanya setelah kejadian sore itu. Saat aku memutuskan home schooling dan menjalani terapi rutin untuk kesembuhanku secara total. Tetap saja kondisiku tak sesempurna dulu. Beruntungnya aku tak perlu mengikuti ujian persamaan paket C saat UASBN. Walau kondisi fisikku terbatas, otakku masih dapat menampung berbagai macam materi pelajaran yang diujikan. Ingatan semakin membaik, aku sudah bisa mengingat kronologis tabrak lari yang menimpaku. Orang-orang yang sedetik sebelum itu ada bersamaku.  Riang yah, Riang namanya. Gadis berbadan mungil yang selalu dipanggil Cil oleh teman-temannya kecuali aku. Ternyata Riang juga yang pernah diusir mamah saat menjengukku di rumah sakit waktu itu. Aku juga masih mengingat plat nomor belakang mobil pick up pengangkut barang yang menabraku ketika itu dan membuatku lumpuh hingga saat ini. Para dokter sudah memutuskan untuk mengamputasi kaki kananku. Karena kondisi jaringan pada tulang kering yang sudah rusak akibat benturan keras. Walaupun pihak dokter bedah tulang sudah berusaha semaksimal mungkin tetaplah kuasa Allah yang menggenggam hidupku.
            Aku mulai belajar shalat lagi lewat buku-buku. Beberapa kali aku sengaja mengikuti pengajian dikomplek dekat rumah walaupun dengan perasaan malu karena kondisiku yang tak sesempurna. Tak peduli dengan cibiran orang yang menganggap keluargaku tertimpa kutukan sial dari almarhum ayahku yang dahulu pernah menjadi tersangka korupsi
            Hari ini tepat dua puluh tahun usiaku. Ada harapan yang aku pinta untuk memiliki kaki kembali. Doaku panjang dalam tangisku yang membasahi sejadah. Aku hanya meminta satu hal entah bagaimana caranya memiliki kaki yang utuh.
“Rizal, mamah mau ajak kamu kesuatu tempat”
“kemana?”
“nanti kamu akan tau kemana mamah akan mengajakmu”. Aku pun bergegas menjalani kursi rodaku menuju mobil. lagi-lagi Bi Ina dan pak Jojo supir pribadiku yang membantuku masuk ke dalam mobil
“terimakasih bi, pak”balasku sambil melempar senyum ke arahnya.
“ iya mas,,baik-baik yah mas rizal sama ibu semoga dapet supris yang hepi hepi” sambutnya dengan bahasa sok inggris yang keliru
“iya makasih ya bi...titip rumah ya bi”
“tenang aja bu insya Allah rumah gak akan digondol kucing kok” jawabnya asal hingga membuat aku dan mamah tertawa renyah didalam mobil
            Hujan masih berjatuhan di bumi. Jalanan basah dan sebagian besarnya digenangi air. Ada cerita pilu dari beberapa lokasi yang terdengar diradio. Mereka  kebagian bencana banjir kiriman dari bogor salah satunya wilayah kampung pemulung Rancoh yang tak jauh dari sekolahku dulu.
“itu rumah Riang!” teriaku dalam hati. Yah hanya dalam hati saja. aku tak mau merusak momment bersama mamah hari ini. andaikan aku punya kaki baru aku tak segan-segan mengunjungi para korban banjir. Sayangnya aku tak seperti dulu, yang ada aku hanya menambah kerepotan mereka saja nanti. abaikanlah semuanya saat ini. aku hanya dapat berdoa tanpa bertindak apa-apa.
“payah” aku kembali mengepalkan tanganku dalam diam. Aku hanya bisa mencercah pada diriku yang tak mampu. Bintang yang kecil saja mampu membawa manfaat bagi malam yang gelap. Begitu juga dedaunan kering yang jatuh ke tanah mereka bisa berfungsi sebagai pupuk kompos dan menghasilkan manfaat bagi tumbuhan-tumbuhan yang membutuhkannya. Bukankah manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Lalu bagaimana denganku? Apa ini sebuah hukuman atau mungkin kasih sayang yang Allah buktikan pada proses hidup ku?
“sudah sampai, ayo kita turun” ajak mamah kepadaku. satpam ruko pun siap  
‘Rain craft and creativity’
“nah, ini dia tempat yang mau mamah tunjukan padamu zal” aku benar-benar tak menyangka ada toko seperti ini. entah siapa pemiliknya, bahagialah orang yang bisa dekat dengannya dan bahagialah orang yang menginspirasi itu.
“terima kasih mah” mamah membalas dengan senyuman yang indah. Melebihi pelangi yang muncul selepas hujan.
“pasti dalam benakmu bertanya, siapa pemilik toko ini?” ucap mamah kepadaku. aku tak menjawab sekata pun, tapi mamah selalu tau apa yang aku mau.
“sebentar yah...mamah akan panggil owner toko ini”. aku menunggu pemilik toko ini. aku akan berterima kasih sekali dengan adanya toko ini. sungguh. Jika dia laki-laki lajang bahagialah calon istrinya bertemu orang semacam dia. Namun jika ia perempuan yang telah menikah bahagialah anak-anaknya memiliki ibu sepertinya.
“Assalaamua’alaikum Rizal” suara yang akrab ditelingaku tapi bukan mamah tapi tak mungkin bi Inah. Aku spontan membalikan badanku yang telah tegap berdiri diatas kaki palsuku
“Riang?!” aku terkejut tak karuan. Dialah malaikatku selama ini kini sungguhan hadir didepan mataku. Dengan balutan jilbab yang menutupi kepalanya dan busana muslimah senada kini dia hadir kembali dalam kehidupanku. Tubuhnya masih mungil seperti dulu senyumnya yang manis juga masih terlukis diwajahnya.
“apa kabar kamu zal?”
“yah beginilah aku seperti yang kamu lihat”.
“Hari inilah yang akan mamah persembahkan untuk kebahagianmu Rizal” tiba-tiba suara mamah menyambar dan ia muncul diantara perbincangan kami.
“maksud mamah?” tanyaku penasaran
“mamah sudah tau kronologis semuanya hari itu. Memang bukan Riang penyebabnya. Pelaku yang sekarang meringkuk dipenjara ialah yang mengakui semuanya. Yah, ia mengakui semuanya karena anaknya juga kehilangan kaki. korban tabrak lari. Lalu mamah mencari keberadaan Riang. ternyata Riang bekerja dibutik teman mamah. Ia disekolahkan dan mengikuti ujian paket C sekarang Riang sedang menjalani kuliah di jurusan manajement dan membuka toko kerajinan kaki palsu ini”
“jadi kamu pemilik toko ini?” tanyaku pada Riang
“yah, aku pemilik toko ini. berawal dari rasa bersalahku padamu dan keluargamu Rizal. walaupun pada akhirnya waktu telah menjawab semua yang belum terjawab”.
***
“papah...” suara anakku Fikri mengagetkanku dari dalam mobil yang dibawa istriku sore ini saat menjemputku disekolah tempat aku mengajar. Bidadari cantiku keluar dengan payung merahnya dari dalam mobil. Yah bidadari cantikku yang menginspirasi bahkan menginspirasi banyak orang, sahabat hujan yang kini menjelma melebihi seorang sahabat, dialah ratu dalam istanaku semenjak januari 2008 dalam sebuah janji suci dihadapan Al-qur’an. dialah ibu dari anakku Fikri. Dialah Riang sang malaikatku si sahabat hujan



             
           


                                                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar