“elo mau pindah kemana
gie???” tanya Toni kepada gadis berkaca mata itu. Serius.
“iya, aku mau masuk
asrama Ton”
“maksudnya,
pesantren??”. Gadis ceria itu hanya melempar senyum simpulnya ke arah Toni. Ada
kata yang ingin ia ucapkan tapi .... ah, rasanya kata-kata ini belum saatnya
terucap.
Beranda kelas itu tiba-tiba menjadi hening, hanya ada dua
mata yang bertemu. Saling bertatap tanpa ada kata keluar sedikitpun. Waktu
seakan berhenti. Entah perasaan apa yang dirasakan kedua ABG tersebut. Jauh
dari sahabat yang sedari kecil selalu bersama dalam suka dan duka. Memang tak
ada gadis lain yang dapat mengerti Toni saat ini selain Gie. Mata teduh milik
Toni dan mata bulat Gie yang terselimuti kacamata tebal pun saling beradu. sebenarnya ingin sekali Gie mengatakan “ayo,
halangi aku untuk pergi Ton” tapi itu
hanya jeritan keras diruang hati yang tersembunyi. Tanpa ada satupun yang
mendengardan turut merasakannya. Ayahnya sudah memutuskan untuk
menyekolahkannya ke pesantren. Agar dapat meneruskan cita-cita kedua orang
tuanya.
Pagi itu sekitar pukul 08.00 pagi. Gie dan keluarganya
bergegas merapihkan segala perlengkapan yang akan ia bawa. Pakaian, baju, selimut hingga perlengkapan
penting lainnya. Pintu mobil sudah mempersilahkannya untuk segera masuk.
Langkahnya berat seakan ada batu besar yang ia ikatkan di kedua kakinya.
Wajahnya spontan menoleh lantai dua rumah dengan desain kayu elegan. Entah apa
yang difikirkan gadis itu, seharusnya ia senang akan masuk ke pesantren, tidak
ada yang menyuruhnya untuk membawa tas. Tak akan ia dengar lagi suara sumbang Toni
mengejeknya. Tak ada lagi yang memainkan
kepangan rambutnya seperti maen kuda-kudaan. Mungkin ia akan merindukan
masa-masa itu, masa ketika ia terkena bola dan hanya Toni yang membelanya. Masa
kelulusan Sekolah Dasar hingga amisnya telur menjadi saksi tawa lepas mereka. masa
dimana ia memulai kekagumannya pada sosok Toni nakal yang ia kenal sejak kecil.
Mobil pun siap menjelajah jalan-jalan ibu kota. Masuk
menyusuri desa dan beberapa perbukitan. Pesantren Daarul Qur’an kecamatan Cikoneng
yang dituju berjarak kurang lebih 5 KM lagi dari pusat kota. ‘Welcome to Daarul
Qur’an Boarding School’ Semuanya berbusana muslim dan muslimah, wajah mereka
indah, senyumnya ramah. , sungguh pemandangan yang nyaris tak ia temukan
sebelumnya.
“selamat datang
kehidupanku yang baru” tutur Gie sambil tersenyum. Langkahnya pasti memasuki
lorong-lorong dengan cat putih yang bersih dan rapi. Pesantren ini terpisah
dari siswa laki-laki. Asrama laki-laki jauh dibelakang bukit, jika kita ingin
mencoba kesana harus berjalan kaki kurang lebih satu jam atau menggunakan
angkutan khusus pesantren yang telah tersedia begitulah tutur pemandu tamu hari
itu.
Gie larut dalam rutinitas harian pesantren. Rutinitas
yang awalnya ia sangka akan seperti dipenjara ternyata tidak ia dapatkan di
sini. Kakak seniornya sangatlah ramah dan sabar membimbaru sepertinya.
Kata-kata mereka amatlah lembut, berbeda dengan apa yang dikatakan orang
tentang pesantren.
7 tahun berlalu, gadis berkepang dengan kacamata silinder
itu tumbuh seperti bunga yang bersemai indah, tak ada lagi kepangan unik
dirambutnya. Yang ada hanya kibaran jilbab yang menutupi bagian kepalanya berpadu dengan
busana muslimah dengan warna yang senada.
“Rabb, aku akan
meninggalkan pesantren ini” gumamnya dalam hati. Telah banyak yang ia dapatkan
dalam rentang waktu yang lama. 7 tahun tanpa kabar, kemana dia? Apa dia masih
mengingat gadis kecil dengan kepangan dua itu? 7 tahun Gie memendam rasa
penasaran yang semakin ia tutup semakin memberontak. Entah kemana perginya si
anak nakal itu. Saat kepergiannya dulu, kenapa Toni tak keluar di lantai dua
rumahnya atau sekedar mengintip dari jendela kamarnya. Melambaikan tangan salam
perpisahan atau sekedar berkata “Gie hati-hati yah!!”. Itu saja cukup untuk
mengisayaratkan Gie berarti untuknya. Tapi ternyata tidak, hingga saat ini pun
Toni tak ikut menjemputnya pulang bersama keluarganya. Padahal rumah Toni
bersebrangan dengan rumah Gie. Apa salahnya jika Toni turut menjemputnya di pesantren
Daarul Qur’an.
‘ting tung’
“Assalaamualaikum
Gie...!!!” suara dari video call seseorang dari handphone berfasilitas 3G itu.
“wa’alaikum salam...”
mata sendu yang 7 tahun lalu beradu dengan mata bulat Gie di koridor kelas 7-F.
“alhamdulillah aku baru
saja landing di Turkey, aku akan melanjutkan kuliah disini Gie, hingga
mendapatkan gelar sarjana ilmu budaya. Doakan ya Gie semoga kuliahku lancar dan
dapat jodoh orang Turkey” suaranya sumringah penuh kebahagiaaan sementara
diujung telefon menyisakan sebuah kerinduan seorang gadis 7 tahun lamanya.
“aku memang hanya
pengagum rahasiamu Ton, yang tak pernah kau ketahui keberadaanku disini” Gie
menghela nafas panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar