Senin, 17 Desember 2012

7 Tahun




“elo mau pindah kemana gie???” tanya Toni kepada gadis berkaca mata itu. Serius.
“iya, aku mau masuk asrama Ton”
“maksudnya, pesantren??”. Gadis ceria itu hanya melempar senyum simpulnya ke arah Toni. Ada kata yang ingin ia ucapkan tapi .... ah, rasanya kata-kata ini belum saatnya terucap.
            Beranda kelas itu tiba-tiba menjadi hening, hanya ada dua mata yang bertemu. Saling bertatap tanpa ada kata keluar sedikitpun. Waktu seakan berhenti. Entah perasaan apa yang dirasakan kedua ABG tersebut. Jauh dari sahabat yang sedari kecil selalu bersama dalam suka dan duka. Memang tak ada gadis lain yang dapat mengerti Toni saat ini selain Gie. Mata teduh milik Toni dan mata bulat Gie yang terselimuti kacamata tebal pun saling beradu.  sebenarnya ingin sekali Gie mengatakan “ayo, halangi aku untuk pergi Ton” tapi  itu hanya jeritan keras diruang hati yang tersembunyi. Tanpa ada satupun yang mendengardan turut merasakannya. Ayahnya sudah memutuskan untuk menyekolahkannya ke pesantren. Agar dapat meneruskan cita-cita kedua orang tuanya.
            Pagi itu sekitar pukul 08.00 pagi. Gie dan keluarganya bergegas merapihkan segala perlengkapan yang akan ia bawa.  Pakaian, baju, selimut hingga perlengkapan penting lainnya. Pintu mobil sudah mempersilahkannya untuk segera masuk. Langkahnya berat seakan ada batu besar yang ia ikatkan di kedua kakinya. Wajahnya spontan menoleh lantai dua rumah dengan desain kayu elegan. Entah apa yang difikirkan gadis itu, seharusnya ia senang akan masuk ke pesantren, tidak ada yang menyuruhnya untuk membawa tas. Tak akan ia dengar lagi suara sumbang Toni  mengejeknya. Tak ada lagi yang memainkan kepangan rambutnya seperti maen kuda-kudaan. Mungkin ia akan merindukan masa-masa itu, masa ketika ia terkena bola dan hanya Toni yang membelanya. Masa kelulusan Sekolah Dasar hingga amisnya telur menjadi saksi tawa lepas mereka. masa dimana ia memulai kekagumannya pada sosok Toni nakal yang ia kenal sejak kecil.
            Mobil pun siap menjelajah jalan-jalan ibu kota. Masuk menyusuri desa dan beberapa perbukitan. Pesantren Daarul Qur’an kecamatan Cikoneng yang dituju berjarak kurang lebih 5 KM lagi dari pusat kota. ‘Welcome to Daarul Qur’an Boarding School’ Semuanya berbusana muslim dan muslimah, wajah mereka indah, senyumnya ramah. , sungguh pemandangan yang nyaris tak ia temukan sebelumnya.
“selamat datang kehidupanku yang baru” tutur Gie sambil tersenyum. Langkahnya pasti memasuki lorong-lorong dengan cat putih yang bersih dan rapi. Pesantren ini terpisah dari siswa laki-laki. Asrama laki-laki jauh dibelakang bukit, jika kita ingin mencoba kesana harus berjalan kaki kurang lebih satu jam atau menggunakan angkutan khusus pesantren yang telah tersedia begitulah tutur pemandu tamu hari itu.
            Gie larut dalam rutinitas harian pesantren. Rutinitas yang awalnya ia sangka akan seperti dipenjara ternyata tidak ia dapatkan di sini. Kakak seniornya sangatlah ramah dan sabar membimbaru sepertinya. Kata-kata mereka amatlah lembut, berbeda dengan apa yang dikatakan orang tentang pesantren.
            7 tahun berlalu, gadis berkepang dengan kacamata silinder itu tumbuh seperti bunga yang bersemai indah, tak ada lagi kepangan unik dirambutnya. Yang ada hanya kibaran jilbab  yang menutupi bagian kepalanya berpadu dengan busana muslimah dengan warna yang senada.
“Rabb, aku akan meninggalkan pesantren ini” gumamnya dalam hati. Telah banyak yang ia dapatkan dalam rentang waktu yang lama. 7 tahun tanpa kabar, kemana dia? Apa dia masih mengingat gadis kecil dengan kepangan dua itu? 7 tahun Gie memendam rasa penasaran yang semakin ia tutup semakin memberontak. Entah kemana perginya si anak nakal itu. Saat kepergiannya dulu, kenapa Toni tak keluar di lantai dua rumahnya atau sekedar mengintip dari jendela kamarnya. Melambaikan tangan salam perpisahan atau sekedar berkata “Gie hati-hati yah!!”. Itu saja cukup untuk mengisayaratkan Gie berarti untuknya. Tapi ternyata tidak, hingga saat ini pun Toni tak ikut menjemputnya pulang bersama keluarganya. Padahal rumah Toni bersebrangan dengan rumah Gie. Apa salahnya jika Toni turut menjemputnya di pesantren Daarul Qur’an.
‘ting tung’
“Assalaamualaikum Gie...!!!” suara dari video call seseorang dari handphone berfasilitas 3G itu.  
“wa’alaikum salam...” mata sendu yang 7 tahun lalu beradu dengan mata bulat Gie di koridor kelas 7-F.
“alhamdulillah aku baru saja landing di Turkey, aku akan melanjutkan kuliah disini Gie, hingga mendapatkan gelar sarjana ilmu budaya. Doakan ya Gie semoga kuliahku lancar dan dapat jodoh orang Turkey” suaranya sumringah penuh kebahagiaaan sementara diujung telefon menyisakan sebuah kerinduan seorang gadis 7 tahun lamanya.
“aku memang hanya pengagum rahasiamu Ton, yang tak pernah kau ketahui keberadaanku disini” Gie menghela nafas panjang.  

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar