Kamis, 07 September 2017

GIYA (antara dinamika anak dan keluarga)


Semua siswa nampaknya antusias dengan pelajaran tentang pekerjaan. Satu-satu, Miss Sofi mempersilahkan mereka maju kedepan untuk mengungkapkan cita-citanya kelak dalam bekerja.
            “Melani, Silahkan maju kedepan, coba ungkapkan keingananmu kelak akan bekerja pada bidang apa?” tutur Miss Sofi. Gadis berambut ikal dengan mata bundar yang menawan itu melangkah pasti kedepan kelas. Senyumnya yang berpadu dengan keindahan lesung pipinya bagai guratan matahari pagi yang cerah dan menaburkan kesegaran. Melani siap dengan ungkapannya. Seluruh anakpun siap menjadi pendengarnya. Begitupun dengan Giya yang terlihat bertumpang dagu menunggu penuturan Melani.
            “Aku Ingin sekali menjadi seorang artis seperti Asmiranda. Dia cantik, baik dan terkenal.” Sempurna, gadis ini menuturkan pendapatnya dengan jelas dan ekspresi yang sangat menawan cocok sekali menjadi seorang artis papan atas seperti yang diimpikannya sejak dini. Beberapa anak terdengar  berceletuk. Ia lah dia bisa jadi artis, kan dia cantik dan anak orang kaya.
            “Baik, siapa lagi yang mau mengungkapkan keinginannya kelak bekerja dimana. Ok Hands Up!” seru Miss Sofi kepada para siswa-siswinya.
            Me teacher...” Giya mengangkat tangan kanannya untuk maju ke depan.
            Sekarang, giliran dirinya maju menunjukan kemampuannya dalam mengungkapkan impiannya dalam bekerja.
            “Silahkan Giya, ungkapkan keinginanmu.” Gadis itu melangkahkan kakinya  dengan mantap. Seperti seorang menteri yang kelak akan ditepuki dan disalami oleh orang banyak. Ia merasakan tepukan tangan penghormatan dan teriakan orang-orang yang mengelu-elukan namanya. Giya siap dengan pidatonya sebagai seorang menteri di podium yang kini masih menjadi ruang kelas dengan disply-disply menakjubkan.
            “Ketika aku besar nanti aku akan menjadi menteri pengangkut sampah....”
            “Wahahahahah....” Kompak seluruh siswa di kelas itu tertawa terbahak-bahak dengan ucapan Giya begitupun dengan Miss Sofi yang tak kalah gelinya dengan teman-teman yang lain. Namun, Miss Sofi masih mencoba netral dengan mengajak siswa-siswanya kembali tenang.
            Wajah Giya kebingungan dengan tawa rekan-rekannya. Dahinya mengernyit matanya memandang teman-temannya dengan mimik tak faham.
            “Kok pada ketawa? emang ada yang salah yah?” tanya Giya tak faham.
            “Kamu masih mau melanjutkan Giya?” tanya Miss Sofi kepadanya. Ia pun mengangguk untuk meneruskan penuturannya.
            “Baik, silahkan diteruskan,”
            Giya melanjutkan pidatonya sebagai seorang menteri pengangkut sampah. Bidang pekerjaan yang belum pernah ada di dunia ini. Baginya menteri kesehatan saja tidak cukup untuk mengurus segala sampah yang ada di negara ini. Negara ini butuh satu bidang khusus yang mengurusi sampah-sampah tak berfungsi menjadi barang jadi.
            Seisi kelas riuh bertepuk tangan mendengarkan tuturan Giya. Begitu pun Miss Sofi yang  takjub dengan penuturan siswinya yang luar biasa pagi itu.
            “Terima kasih teman-teman semua. Ibu menteri akan kembali ke mejanya.” Giya kembali ke meja kursinya yang berada dibarisan ke tiga lini tengah bersama senyum yang mengembang. Beberapa anak memandang kagum dengan Giya namun Melanie masih menganggapnya sebagai hal yang biasa bahkan aneh.
            Pagi yang beranjak siang. Tepat pukul 13.00 wib Giya dan teman-temannya kembali pulang ke rumah masing-masing. Giya pulang bersama Ronald dan Hendy yang  kebetulan searah dengannya. Yah, sama-sama melewati rumah nenek pinky. Nenek yang hobinya memakai baju berwarna pink. Nenek Pinky memiliki sejumlah anjing yang besar-besar. Hal inilah yang terkadang membuat Giya harus berputar arah perjalanan pulang ketika Ronald dan Hendy tidak masuk agar tidak melewati rumah nenek pinky.
            “Beneran kamu mau jadi menteri pengangkut sampah?” tanya Ronald dalam perjalanan pulang.
            “Apa? menteri pengangkut sampah? cita-cita yang aneh,” gumam Hendy kakak Ronald yang pulang bersama mereka.
            “Memangnya salah?” langkah Giya terhenti. Ia berdiam sejenak. Ronald dan Hendy menghentikan langkahnya, memandang gadis kecil berseragam putih merah dihadapannya.
            “Kenapa sih, orang-orang pada bilang aneh? padahal itu kan tugas  mulia.” Giya berbicara setengah membentak. Kesal, sebal, ia tak suka pendapatnya dipatahkan.  
            Hendy dan Ronald tercengang, ia mendengarkan penuturan Giya tentang cita-citanya yang terbilang tak biasa.  Tapi sedetik kemudian kembali tersenyum ke arah Giya. Mereka kembali menikmati perjalanan pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan perumahan yang tenang.
            ‘Trererererereret...JDUT...trik...trik...trik’
            “Dasar anak kecil kribo nakal!!!” Giya mengutuk anak kecil berambut keriting yang baru saja lewat di depannya dan nyaris menabraknya.
            “Sabar Giya, jangan dikejar. Dia kan cuma anak kecil!” Hendy mencoba menenangkan Giya yang ingin mengejar anak keriting bersepeda itu. lagi-lagi Hendy menenangkannya dan kembali menuju jalan pulang dipayungi awan yang teduh siang ini..
***
            “Ayah pulang!” Giya pun membuka pintu dan segera meloncat ke tubuh ayah. Seperti biasanya ibu menyiapkan makan malam. Membuat secangkir kopi untuk ayah sambil menjaga Arul yang berada di dalam baby walker.             
            “Owh...jagoan-jagoan ayah...,” ayah menciumi Giya dan adiknya yang bernama Ari. Keduanya bergelayutan manja di tangan ayah.
            Suasana rumah yang hangat. Ibu menghidangkan makanan kesukaan Giya dan Ari. Oseng kangkung dan telur dadar kecap. Sesekali ibu terlihat kerepotan juga menyiapkan makan malam untuk keluarga sambil mengajak Arul berbicara di dalam baby walkernya.
            “Ta...ta...ta...ta...nananana....” Arul berceloteh kata-kata yang belum jelas. Kakinya berjalan-jalan tanpa arah. Giya dan Ari mamantau perkembangan adiknya yang lucu sambil memainkan sendok menjadi orang-orangan. Dengan cepat pula ciuman gemes Giya mendarat di pipi Arul yang tembem.
            ‘Muuuach....’ 
            Makan malam yang menyenangkan walau hanya dengan makanan seadanya. Oseng kangkung, telur dadar, tempe, ikan asin dan sambal terasi khas Indonesia. Makanan sederhana yang disihir menjadi jamuan mewah bintang lima oleh ibu. Ari dan Giya pun makan dengan lahapnya setelah berdoa dibawah pimpinan ayah.
            “Jangan lupa dihabiskan yah!” seru ibu kepada Giya dan Ari adiknya. Dengan mulut penuh makanan, mereka pun mengangguk setuju.
            Seusai makan malam ayah mengambil sepucuk surat pemberitahuan dari sekolah yang tergeletak di meja tamu.
            “Arifin Hasyim Dalam minggu ini, ananda selalu mendapatkan nilai sangat istimewa, Ananda termasuk anak yang jenius di kelas. Kritis dan penuh semangat belajar.” Mata ayah berbinar senang membaca laporan perkembangan Ari hingga melabuhkan pelukan ke anak lelakinya itu.
            Surat kedua dibuka ayah. Hanya surat tagihan kredit bank. Tadinya ayah berharap itu adalah surat laporan perkembangan belajar putrinya.
            “Kemana surat hasil belajarmu Giya?” tanya ayah. Sambil menggeret kursi makan ke depan kulkas, Giya memanyunkan bibirnya seperti moncong senapan yang siap menembak kata-kata jitu berupa jawaban saat ditanya ini dan itu oleh ayah tentang laporan perkembangannya. Giya membuka frezer tempat pembeku es yang berada di bagian paling atas kulkas. Diambilnya gulungan kertas yang teronggok didalamnya.
            “Owh...tempat penyimpan surat laporan yang menakjubkan. Semoga saja tidak rusak,” tutur ayah kepada putrinya sambil mengambil surat dari tangan mungil putrimya kemudian langsung membuka surat tersebut.
            “Giya Gazelia. Sebenarnya, ananda adalah anak yang cerdasnya di atas rata-rata. Tetapi terkadang kejailannya yang tidak terpantau membuat beberapa teman-temannya geram. Selalu keluar pada saat jam belajar di kelas dan beralasan apapun agar tidak berlama-lama di kelas pada jam pelajaran matematika. Secara umum Giya tidak mau mengikuti peraturan yang ada dan selalu mendebatnya.”
            Ayah menyudahi bacaannya dan memandang Giya putrinya. Ayah sedikit berjongkok agar sejajar dengan Giya yang tepat berhadapan dengannya. Satu metode yang disampaikan ayah dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Ayah selalu mencoba bersejajar dengan mereka. Mata bertemu mata.
            “Pasti ayah marah?” tanya Giya takut-takut. Giya pun merunduk. Suasana  hening. Ayah menatap kertas laporan lalu menatap Giya secara bergantian.
            Ari tengah asik berimajinasi sebagai seorang pilot pesawat dengan mainan tutup pancinya diruang tengah. Tak peduli apa yang terjadi pada laporan tentangnya disekolah atau laporan tentang kakaknya yang sedang dipegang ayah. Ari sibuk dengan dunianya sejenak.
             “Giya masih mau belajar di sekolah itu?” tanya Ayah perlahan pada Giya. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Giya. Hanya anggukan seorang anak kecil yang rambutnya bergoyang-goyang sambil memanyunkan bibirnya.
            Bahasa tubuh seorang anak dalam menyampaikan pesan. Pesan yang semua orang harus tau kalau dirinya masih mau belajar disekolah walau terkadang sistem persekolahan yang ada tak pernah berpihak untuk anak-anak seperti Giya yang sering merasa dipaksa dan dipenjarakan kebebasannya.
            “Kenapa kamu masih saja jail seperti dulu? kapan kamu akan berubah? Giya bukan kelas satu lagi kan?” tutur Ayah lembut kepada putri kecilnya. Ayah tak habis fikir dengan Giya  dan sekolah yang dijalaninya. Dari dulu, laporan perkembangan yang ada hingga sekarang masih saja sama. Tak ada perkembangan berarti bagi putrinya. Entah siapa yang salah.
            Berbeda dengan Ari yang selalu mendapatkan pujian dari gurunya, anak lelaki yang sangat digemari oleh guru dan teman-temannya begitupun dengan keluarga ayah dan ibunya. Sementara Giya harus menerima keadaan sebaliknya. Hanya Ronald dan Hendy yang masih setia menjadi temannya.
            “Aku nggak mau sekolah ayah!!” geram Giya tiba-tiba. Ayah pun terkejut dengan penuturan spontan putrinya. Begitupun ibu yang langsung ikutan terduduk sejajar dengan ayah dan Giya.
            “Kenapa kamu berkata demikian? tadi kamu masih mau belajar disekolah, sekarang kamu bilang tidak mau. Ayolah jangan membuat kami semakin bingung denganmu Giya.” tanya ibu pada Giya.
            “Mereka semua menyebalkan dan membenciku ayah!”
            “Itu bukan suatu alasan.” Ayah menyambar percakapan.
            “Tapi itu benar ayah!” ucap Giya mantap. Wajahnya kini tak merunduk ragu-ragu. Matanya menyeringai tajam tepat berhadapan dengan ayah dan ibunya. Seakan menantang siapapun didepannya. Giya kembali melanjutkan alasannya.
            “...dan aku nggak suka dengan semua paksaan yang ada!” Tuturnya kembali tajam.
            Ayah dan ibu tak bergeming. Sambil mengajak putri cerdasnya berdiskusi, ayah dan ibu sengaja menatap mata Giya lamat-lamat.
            “Kenapa? Apa kamu gak mau jadi orang sukses?” tanya ayah pada Giya. Ibu masih tak faham dengan penuturan anaknya yang tiba-tiba membuatnya terhenyak. Kaget. Padahal sebelumnya Giya masih mau bersekolah.
            “Kenapa hidup itu harus dipaksa? Kenapa aku harus jadi dokter sementara aku tak mau menjadi dokter. Kenapa cita-citaku sebagai menteri pangangkut sampah harus ditertawakan teman-teman? Sementara Melani yang ingin menjadi artis tak pernah ditertawakan? Ini sungguh tidak adil bagiku ayah!” Celoteh Giya membrondong alasan.
            “Ayah, kenapa aku harus menulis dengan pensil sih? Sementara kelak aku besar nanti, aku sudah nggak mungkin menulis dengan pensil kayu. Sekarang sudah ada telefon, sudah ada handphone kenapa aku masih saja disuruh menulis dengan pensil kayu yang terkadang sering kali patah. Ini menghambat pekerjaanku. Belum lagi ketika ibu guru menyuruhku menulis ini ibu budi. Lalu aku menulis ini ibu Giya. Ibu guru tidak memperbolehkannya. Ia memarahiku ayah! aku meminta alasanya,  tapi ibu guru nggak pernah memberi alasan kepadaku. Guru macam apa itu!!” ayah terkejut mendengar penuturan putrinya yang tak biasa. Pendapat masuk akal namun  tak sepadan dengan usianya sekarang. Kecerdasan Giya memang diatas rata-rata anak pada umumnya. Walau terkadang orang menganggapnya sebagai anak yang aneh dan nakal.
            Ibu dan ayah terheran-heran dibuatnya, mereka saling berpandangan memahami tingkah putri kecilnya pada fase kongkritual ini. fase kritis, serba ingin tau, mencari perbandingan antara lingkungan dengan dirinya. Kekritisan yang ada pada dirinya adalah hasil dari keingin tahuannya tentang sesuatu yang jelas dan tidak samar-samar. Lantas saja beberapa anak seperti Giya sering kali berbenturan dengan kondisi dan kebiasannya
            Ayah dan ibu tak menjawab. Mereka hanya tertawa geli memandang kutukan Giya yang menyerang bertubi-tubi. Celotehan seorang anak kecil yang tak biasa. Geli, lucu sekaligus takjub tak terkira.
            “Ayah dan ibu mentertawakan aku. Aku seperti badut yang sedang menghibur orang-orang untuk ditertawakan!!” Giya semakin geram mengutuk. Ia berlari menuju kamar orangn tuanya dan mencorat-coret di kaca meja rias mereka dengan lipstick yang ia temukan dimeja rias.
            “Apakah Giya seperti badut!!??” lalu disudahi dengan gambar emotion menangis dan marah. Mencoba menarik perhatian kedua orang tuanya saat masuk ke dalam kamar.
                                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar